![]() |
Ilustrasi |
Suara tumpukan buku bermateri hitungan uang itu sengaja diletakkan di meja dengan agak keras sehingga menimbulkan suara yang bisa membuat orang terkejut.
“Capek sakali hari ini,” gumam Syaid
Jarum jam yang terlihat di pojok ruangan menunjuk pada angka 11, tapi dialah satu-satu pekerja di instansi pemerintahan yang saat ini masih saja menggeluti pekerjaannya hingga larut malam seperti ini. Kala orang sudah terlelap dengan dunia khayalnya, dia masih saja menyelesaikan dengan sangat teliti pekerjaan-pekerjaan yang memang sudah menjadi tanggung jawabnya itu.
***
“Assalamualaikum,” suara itu terdengar pelan di antara suara serangga yang biasa bernyanyi di malam hari. Lama tak ada jawaban, Syaid pun mengulang hingga 4 kali ucapan salam itu.
“Waalaikumsalam,” suara dari dalam rumah sederhana itu terdengar samar-samar. Tak lama berselang, pintu pun terbuka.
“Sampai larut begini, Yah?”
“Banyak pekerjaan tambahan yang memang harus dikerjakan di luar jam kerja.” Dengan cepat dia ayunkan kakinya yang terlihat bengkok itu ke dalam rumah. Tidak banyak komentar dia pun bergegas membersihkan diri tanpa berkata apa-apa.
“Anak-anak tadi tidur jam berapa, Dik?” tanya Syaid .
“Sekitar jam sembilan Mas, selesai nonton televisi sebentar langsung tidur. Tadi anak-anak nanyain, Mas.”
Percakapan yang tidak dilandasi tema itu sejenak terpotong hanya karena Syaid mandi tanpa diketahui istrinya.
“Ah dasar, kebiasaan itu masih saja dilakukan. Bilang dulu kenapa kalau mau mandi.” Dengan kesal istri Syaid menggumam. Lalu ia bergegas lagi melanjutkan tidurnya yang sempat tertunda.
***
Adzan Subuh baru saja di telinga, seketika Syaid yang sepertinya baru saja meletakkan kepalanya kini terbangun kembali, segera ia bangunkan dua anaknya yang masih tertidur pulas. Itulah kebiasaan Syaid yang menanamkan akidah dan akhlak kepada anak-anaknya sejak dini agar kelak dapat menjadi anak yang dapat mengemban amanah dengan jujur.
“Nak, ayo bangun sholat Subuh,” suara Syaid pelan sembari menepuk kaki kedua putranya.
Tak selang lama anak-anak Syaid mulai terbangun akan suara ayahnya, mereka tidak pernah membantah apa yang ayah mereka katakan.
Matahari mulai meninggi, anak-anak sudah siap untuk berangkat sekolah, begitu juga Syaid yang senantiasa bersiap mengantar anak-anaknya, yang ia lanjutkan pergi ke kantor Pajak di kotanya, istri Syaid yang dari tadi meyiapkan bekal makanan anaknya kini mulai disibukkan dengan pekerjaan rumah yang sesungguhnya, bukan dari guru, bukan juga dari dosen.
***
Tak seperti hari-hari biasanya Syaid yang biasa pulang malam, kini jam baru menunjukkan pukul 11.00 pagi, ia sudah ada di rumah, entah karena sesuatu atau memang Syaid mengajukan izin untuk pulang pagi. Memang boleh seperti itu.
“Lho Mas, baru berapa jam di kantor, kok sudah sampai rumah?” tanya istri Syaid heran.
“Hehe, biasanya kan pulang malam, sekali-sekali pulang pagi khan nggak apa-apa, Dik,” jawab Syaid tanpa memberi alasan.
“Mas, ada yang ingin aku tanyakan ke Mas.” Pertanyaan cepat itu seketika muncul dari istri Syaid.
“Apa Dik? Kok tumben kamu basa-basi seperti itu, biasanya saja blak-blakan.” Candaan Syaid tidak membuat senyum di bibir istrinya.
“Mas, apa selama ini Mas yakin menafkahi keluarga kita dengan uang halal?” pertanyaan yang lembut menusuk pendengaran Syaid.
“Ah kamu itu bertanya apa ingin tahu?”
“Lho, bedanya apa?”
“Dari sini aku lihat raut wajahmu kamu ingin tahu sekali, bukan sekedar bertanya,” jelas Syaid tanpa menjawab pertanyaan istrinya sebelumnya.
“Ah, aku tidak tahu. Aku hanya ingin keluarga kita mendapat nafkah yang halal dari Mas.”
“Haha,” tawa kecil mengejek dari raut wajah Syaid.
“Bukan, bukan masalah halal apa bukan yang kamu tanyakan, tapi kamu sebenarnya menanyakan soal pekerjaanku bukan?”
“Mungkin.”
“Aku yakin bekerja sesuai aturan, tidak melanggar, bahkan tidak menambah aturan-aturan, hanya saja aku ingin mengubah mindset orang tentang pekerjaanku. Sudah berapa tahun aku bekerja di perpajakan? Baru kali ini kamu menanyakan itu?”
“Beberapa kasus yang sekarang terlihat itu semua dari pajak, walau aku tidak yakin akan semua itu.”
“Bukan semua, Dik, tapi memang ada, aku tidak menutupi semua itu. Percayalah kepadaku.”
“Pajak identik dengan materi Mas,” suara istri Syaid lirih
Belum sempat menjawab, Syaid mendekati istrinya, mendekap erat tangannya, menatap tajam matanya.
“Dik, aku ingin mengubah pandangan masyarakat yang seperti itu.”
“Tapi apa bisa? Lebih baik Mas keluar saja, mungkin bisa kerja sambilan Mas dulu, bisa merangkap lagi jadi guru mengaji,” desak istrinya.
“Aku yakin Dik, bagaimana bisa berubah kalau semua menganggap seperti itu, perubahan itu berawal dari yang benar. Mau jadi apa kalau aku hanya berdiam saja, apalagi membiarkan atau bahkan keluar, aku berlaku jujur, dan berharap kejujuranku berbuah baik Dik.”
Di atas sana terlihat matahari yang seakan menyaksikan pertemuan dua pemikiran itu lewat celah-celah dalam rumah. Bukan hanya masalah pikiran, hati pun mempunyai andil besar dalam hal ini. Angin yang dari tadi merangkum percakapan itu, kini mulai pergi, pergi ke mana saja untuk mengabarkan apa yang telah diterimanya.
Belum selesai bercakap, Syaid pun menyudahi pembicaraan itu, ia bergegas ke kamar, bersiap-siap menjemput anaknya yang sudah waktunya pulang sekolah.
***
Malam sudah bergembira, akhirnya ia muncul juga, berselangan dengan senja yang tadi bersemayam indah membentuk garis bibir melengkung ke atas.
Kriiing Kriiing!!!
Bunyi telepon itu sampai terulang hingga 3 kali, entah siapa yang menelepon, atau hanya orang iseng salah alamat, istri Syaid asyik di dapur, sementara Syaid mengasyikkan dirinya dengan anak-anaknya di ruang depan, hingga tak mendengar bunyi telepon yang sebenarnya keras itu.
“Mas! Mas!” suara keras terdengar dari dapur.
“Iya Dik, ada apa?” Syaid menjawab dengan menyelaraskan suara istrinya.
“Ada telepon itu.”
“Mana? Tidak terdengar,” bergegas Syaid menuju ke kamar.
“Sadam, Dik, yang menelpon,” terang Syaid
“Wah gimana kabar Sadam ya, Mas. Aku kangen, dia yang dari dulu kita besarkan, belajar hidup mandiri, dan kini dia sudah besar.”
“Aku juga, semoga sekolahnya baik-baik saja ya. Dia yang sebentar lagi meneruskan perjuanganku memperbaiki pandangan masyarakat tentang pekerjaan di perpajakan”
“Semoga, Yah,” sembari mengusap mukanya.
***
Hari ini tidak banyak yang berubah dengan kemarin, Syaid yang biasanya berangkat pagi sudah tak ada di rumah, begitu juga aktivitas-aktivitas lainnya.
Akhir-akhir ini Syaid tak seperti biasanya, ia lebih sering berbicara, bukan sekedar mengeluarkan kata-kata, ia selalu memberi nasihat kepada anak-anaknya yang masih kecil itu, bukan sekedar bercerita, ia juga memberi saran-saran untuk istri dan anaknya. Sejak istrinya menanyakan tentang pekerjaannya itu, Syaid menjadi berubah.
“Assalamualaikum, hallo,” suara Syaid keluar dari handphone istrinya.
“Waalaikumsalam Mas, ada apa?”
“Mungkin dalam waktu dekat ini aku mau ditugaskan ke luar kota untuk meninjau kantor-kantor yang ada di kota kecil.”
“Oh, iya Mas, tak kira ada apa-apa tadi.”
“Tolong jaga anak-anak ya, Dik”
“Ah, Mas, ini kok ngomongnya begitu, seperti mau pergi ke mana saja. Ya sudah pasti Mas.”
“Khan memang mau pergi, hehe. Ya sudah Dik, begitu aja ya. Wasalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, Mas.”
Pembicaraan yang biasanya tidak dilakukan di telepon itu seakan membicarakan hal yang mendadak saja.
***
Berhari-hari sudah berlalu, kini matahari yang biasa memancarkan cahaya terang hanya terlihat setengah saja, tertutup awan yang tak mau kalah menutupi matahari, angin pun yang biasa mengusir awan dari matahari, kini hanya berdiam, melihat dan merangkum peristiwa awan dengan matahari itu.
“Dik, aku sudah siap untuk pergi,” suara Syaid pelan.
“Iya Mas. Sudah menelepon Sadam?” tanya istrinya
“Sudah tadi, sebentar lagi dia lulus dari kuliahnya, dan tadi aku sarankan kalau nantinya sudah bekerja seperti aku, di mana pun itu harus berlaku jujur, agar perjuanganku mengubah pandangan orang soal perpajakan tidak hanya dianggap seperti menggarami lautan.”
“Khan Mas masih lama pensiunnya?” tanya istrinya heran.
“Tidak apa-apa,” jawab Syaid tegas.
“Anak-anak mana?” tanya Syaid
“Di kamar, tadi.”
Bergegas Syaid menuju ke kamar kedua anaknya untuk berpamitan, karena berhari-hari dia akan tidak bertemu dengan anaknya.
“Nak,” suara Syaid keluar dari balik pintu kamar anaknya.
“Ayah, Ayah, Ayah, ayo main,” suara dua anaknya merajuk.
“Ayah mau pergi, Nak”
“Ke mana, Yah?” jawab Ryan, anak bungsu Syaid.
“Mau berkelana mencari kejujuran, hehe,” jawab Syaid dengan candaan sembari mencium kening kedua anaknya.
“Tapi di rumah sama ibu khan , Yah”
“Iya, Nak, di rumah sama ibu, kalian jadi anak yang baik ya waktu ayah pergi, jangan nakal. Yang jujur lho, jangan sampai berbohong. Jaga ibu ya, Nak.”
“Mas, kamu ngomong apa sich sama anak-anak, mereka masih kecil belum mengerti apa-apa soal kejujuran,” istri Syaid memotong
“Kamu juga jaga anak baik-baik, Dik,” ucap Syaid tanpa menjawab pertanyaan istrinya.
“Iya.”
“Ya sudah aku pamit, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab mereka serentak
***
Suasana mulai berbeda, dua hari dua malam Syaid habiskan waktunya di perjalanan menuju peninjaunnya ke kota-kota kecil. Senja yang biasa menyempit di antara gedung-gedung tinggi, kini mulai terbebas dari itu semua, hamparan pohon-pohon yang rindang, suasana sejuk menenteramkan hati, seakan semua hal buruk pergi dari pikiran, hati, pandangan, dan semuanya.
Tibalah Syaid di suatu kota di mana masyarakat seakan tabu, tak mengenal instansi pemerintahan, bahkan setiap pajak yang dia bayarkan mereka tidak tahu untuk apa semua itu, dan siapa yang menerimanya itu, namun mereka tidak pernah sekalipun memprotes atau pun bertanya, entah mereka benar-benar tidak tahu dan tidak mau tahu, ataukah mereka tidak mengerti di mana seharusnya mereka protes dan bertanya. Entahlah, yang dirasakan Syaid sekarang hanyalah ketenteraman hati serta pikiran, seakan kejujuran murni menyelimuti setiap pandangannya.
“Aku tidak pernah menyangka bahwa aku yang ditugaskan meninjau kota yang tenteram ini,” Syaid berbicara dalam hati.
Syaid sudah menduga-duga, sampai pikirannya tak tentu ke mana, dia tahu di kota kecil ini bukan sekedar menjalankan tugas yang disampaikan atasannya, dia tetap tidak lupa dengan misinya. Dia yakin, di sini masih ada orang-orang di instansi perpajakan yang mampu menjalankan pekerjaannya dengan baik, tanpa memandang materi, seperti halnya yang telah Syaid amanatkan kepada anak angkatnya Sadam. Syaid berharap Sadamlah yang akan membantu serta meneruskan perjuangannya dalam mempertahankan kejujuran dalam bekerja, dan mengembalikan citra perpajakan yang baik, bukan hanya sekedar pekerjaan yang bercitrakan materi.
***
Beberapa hari Syaid sudah berkeliling kota ini, sampailah pada tujuan utamanya meninjau kantor kecil dengan banner bertuliskan ‘Orang Bijak Bayar Pajak’ yang terpampang di tengah atas kantor ini, terlihat memang betapa ramahnya petugas-petugas itu.
“Assalamualaikum, Bapak Ibu sekalian”
“Waalaikumsalam,” jawab pegawai kompak
Tiba-tiba anak muda di pojok dengan kemeja batik dengan cepat berdiri dan menunjuk Syaid.
“Wah, Pak Syaid ya?” suara keras muncul.
“Lho, kok tahu? Masih muda sekali kamu?” tanya Syaid
“Saya banyak mengenal Bapak dari saudara saya, sebelum dia pensiun 2 tahun yang lalu, aku sempat dikasih tahu foto Bapak, entah didapatkan dari mana foto itu, baru bekerja bulan lalu, Pak,” jawab pemuda itu santai.
Dengan gaya pemuda itu, Syaid tertarik dengan perbincangan yang sungguh tak terduga itu, akhirnya Syaid dengan pemuda pekerja pajak di kota kecil itu semakin akrab, dan seorang yang mengantarkan pemuda itu juga seseorang yang sampai sekarang punya misi seperti Syaid, ingin mengubah pandangan negatif tentang perpajakan. Sungguh pertemuan indah antara Syaid dengan pemuda penuh tekad bulat itu, mereka berdua mempunyai pandangan yang sama, pandangan positif yang akan tetap hidup walau hanya di kota kecil seperti ini, dan Sadam pun akan segera menyusul Syaid serta pemuda itu. Kini Syaid tidak merasa sendirian dalam perjuangannya, dia bangga, masih ada walau hanya segelintir orang yang masih percaya pada perpajakan, tidak memandang pekerjaan itu sebagai citraan materi, tidak pula melakukan kecurangan dalam bekerja, dan tetap menjunjung tinggi kejujuran. Dan Syaid pun yakin masih akan ada ”Syaid-Syaid, pemuda-pemuda, dan Sadam-Sadam baru” yang akan muncul dan menyusul dirinya.
***
---
Cerita Pendek di atas merupkan naskah untuk lomba cipta dan pembacaan karya cerita pendek serta lomba cerdas cermat yang diadakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Prataman Pati tahun 2014.
0 Tanggapan:
Posting Komentar