Sebuah catatan perjalanan mencari ketenangan hati dan menemukan Maiyah di tengah-tengah jalan.
Kalau ditanya kapan pertama kali bersinggungan dengan Maiyah? saya tidak pernah bisa menjawabnya secara pasti, karena memang saya tidak ingat dengan jelas kapan pastinya. Tapi, sebelum mengurai ingatan tentang pertama kali bertemu dengan maiyah, saya perlu menjelaskan terlebih dahulu kenapa saya bisa sampai pada tahap mencari ketenangan hati –mencari Tuhan hingga di dengah jalan bertemu dengan maiyah dan sampai sekarang merasa bahwa maiyah adalah rumah saya mencari ketenteraman hati.Semasa masih duduk di SMP, 7-8 tahun yang lalu otak saya sudah dipenuhi dengan pertanyaan soal Tuhan, saya yang tidak dibesarkan dari keluarga santri atau pun dengan didikan agama yang intens merasa adanya kekurangan dalam diri, merasa agama saya sangat lemah, merasa ada yang kering dalam diri, ketakutan-ketakukan pada neraka, kengerian tentang bayangan kematian. Dari sana saya banyak mencari tahu ke sana ke mari, hingga sampai belajar agama dengan Syech Google, di perjalanan saya belajar asal-asalan itu saya mengenal lingkungan Nahdliyin dan lingkungan Muhammadiyah, saya yang dari kecil berada pada lingkungan masyarakat Nahdliyin –walaupun tidak kental-kental banget merasa saya bagian dari warga NU, tapi di sisi lain keluarga saya banyak yang latar belakang sekolahnya di Muhammadiyah, tentu secara tidak sengaja kultur Muhammadiyah melekat pada keluarga saya, walaupun dalam praktiknya sangat jarang bapak ibu saya menerapkannya, contoh kecilnya ketika Idul Fitri bapak ibu saya tidak pernah menganjurkan untuk ikut Muhammadiyah, tapi selalu memantau pengumuman dari pemerintah. Dari kebingungan itu saya merasa harus mempunyai tempat untuk belajar ilmu agama, namun tidak juga saya dapatkan(karena sejatinya memang saya harus mondok untuk mendapatkan ilmu agama secara intens dengan guru yang jelas), kemudian saya kembali lagi pada rutinitas saya belajar pada Syech Google, pada suatu ketika saya merasa menemukan tempat di mana bisa mengaji dan mempelajari ilmu agama dengan Syech Google, tapi saya sangat merasa hampa karena tidak memiliki guru sebenarnya, hingga suatu ketika hati saya dibenturkan pada persoalan-persoalan yang membuat saya bingung, dalam satu sisi hasil belajar saya dengan Syech Google menganggap suatu hal A itu haram –tentu ini hanya pendapat beberapa ulama saja, padahal keseharian dan minat saya ada pada hal A tersebut, sehingga saya merasa gundah, dan dari kegundahan itu kembali lagi saya merasa belum menemukan tempat yang cocok dalam belajar agama, dan semakin hari ilmu agama saya lemah. Hingga suatu saat saya pernah ikut-ikutan (karena efek belajar dari Syech Google) pada suatu ajaran atau komunitas yang menurut saya kaku dalam beragama –coro jowone. Tapi saya tahu di dalam komunitas itu saya benar-benar tidak menjadi diri saya sendiri, hati saya selalu resah, tidak nyaman, saya seakan diberi topeng lalu menjadi orang alim, padahal saya sangat sadar betul ilmu saya sangat rendah. Kemudian saya memutuskan untuk menyudahi semua kegiatan gila saya itu, kemudian saya ke sana kemari ikut ngaji dengan teman-teman NU yang saya kenal dari facebook, saya mulai merasa tenang dan merasa punya tempat di waktu ini, keinginan saya bahkan sampai ingin mondok, tapi saya urungkan karena saya paham betul bukan orang yang akan betah jika mondok dan saya bertekat mencari jalan lain untuk bisa tetap belajar tetapi tanpa mondok.
Suatu hari saya diajak teman Nahdliyin saya yang sering ngajak ngaji untuk menghadiri acara ngaji budaya, namanya Suluk Maleman, saya sebelumnya tidak tahu acara apa itu dan saya tidak langsung mengiyakan saja, karena acara itu ternyata rutin berlangsung setiap bulan, dibulan berikutnya saya datang ke acara tersebut: sendiri. Pada watu itu pembicaranya Gus Mus(KH Mustofa Bisri) dan Pak Agus Sunyoto(Peneliti sejarah), pada waktu itu saya datang dengan jalan kaki dari kos saya ke tempat acara tersebut yang lumayan jauh jaraknya, ada yang membuat saya kikuk sebenarnya waktu itu, pikir saya ini adalah pengajian yang biasanya orang datang dengan memakai pakain rapi serba ala-ala pengajian seperti itu, dan ketika sampai sana ternyata orang-orang pada pakai celana jean, celana pendek, kaos oblong, walaupun tetap ada yang pakai pakaian resmi pengajian, tapi dalam benak saya tetap berkata "asem, tiwas rapi-rapi gawa sarung klambi koko, ning kene mung do oblongan", saya sangat menikmati selama acara berlangsung, sangat bisa mengikuti apa yang sedang menjadi topik pembicaraan, karena selain Gus Mus yang menguraikan tentang nasihat-nasihat baik, ada Pak Agus Sunyoto yang menguraikan bagaimana Islam datang ke Indonesia, khususnya tanah Jawa, karena beliau meneliti tentang walisongo, saya yang dari kecil menyukai sejarah jadi sangat tertarik dengan topik pada malam itu, hingga tak terasa acara telah selesai. Kemudian di bulan-bulan berikutnya saya rutin datang, dua bulan setelahnya yang menjadi pembicara Sujiwo Tejo, saya yang sudah lekat dengan budaya jawa sudah lama tahu tentang Sujiwo Tejo dan menikmati karyanya, saya antusias sekali pada waktu itu. Saya semaikn cinta dengan acara tersebut, saya merasa punya "rumah".
Dalam rutinitas tiap bulan itu saya mulai merasa punya tempat untuk "berteduh", saya merasa asing –karena selalu sendiri di acara sperti itu tetapi tidak pernah terasingkan, sebab selalu ada orang baik yang menyapa sehingga paseduluran selalu terjalin di sana. Hingga suatu saat, saya melihat baliho acara Suluk Maleman dengan tajuk Cahaya Atas Cahaya dan mentereng nama Emha Ainun Nadjib dengan fotonya, acara yang berlangsung lima tahun yang lalu bertepatan dengan bulan Ramadan seperti halnya sekarang, acara berlangsung pada tanggal 20 Juli 2013. Saya yang belum mengenal Mbah Nun pada waktu itu merasa tergugah hati untuk melakukan riset kecil yaitu mencari tahu siapa Emha Ainun Nadjib ini. Sebenarnya saya sudah tahun nama Mbah Nun sejak SMP, pada waktu itu guru bahasa Indonesia saya waktu SMP pernah menyinggung di dalam kelas, pada waktu itu membahas kegundahan lirik lagu jaman itu yang diksinya sudah tidak bagus lagi, sedangkan perbandingannya dengan masa-masa band Letto, guru saya bilang, singkatnya seperti ini "kalau Letto memang anaknya penyair, jadi liriknya masih bagus diksinya", pada waktu itu saya tidak ngeh dan tidak sadar bahwa yang dimaksud adalah Sabrang/Noe anaknya Mbah Nun. Dan kejadian waktu SMP itu baru saya sadari ketika saya mencari tahu siapa Emha Ainun Nadjib yang terpampang pada baliho acara Suluk Maleman tersebut. Memang pertama ketika saya mencari tahu siapa Mbah Nun adalah informasi tentang beliau yang budayawan, penyair, sastrawan, karena sumber utama saya mencari tahu adalah di Google, namun dengan bekal informasi tersebut saya tetap bulat untuk datang ke Suluk Maleman(karena memang tiap bulannya seperti itu), saya menikmati dan semakin merasa nyaman di lingkungan tersebut, hati saya bergembira, guyonan-guyonan yang dibangun sangat bisa saya ikuti, ilmu yang disampaikan secara tidak sengaja terserap dengan sendirinya, seperti kita tidak tersadar bahwa ada transfer ilmu yang masuk dalam tiap pori-pori kesadaran tubuh kita, karena suasananya seperti cangkrukan, njagong, kongkow-kongkow biasa. Selepas pulang dari acara dan di hari-hari selanjutnya, saya tidak berhenti mencari tahu lebih lanjut siapa Mbah Nun, saya tetap mencari hingga saya menemukan Komunitas Kenduri Cinta, saya gali informasi dari sana, hingga akhirnya saya tahu bahwa bukan hanya di Pati saja yang punya acara seperti Suluk Maleman, bahkan di Jakarta, Semarang, Jogja, Jombang, Surabaya, dan masih banyak lagi tempat-tempat lain ada komunitas-komunitas yang sering melingkar bersama tiap bulannya, bahkan riwayatnya jauh lebih lama, dan dari sanalah saya mengenal: Maiyah.
Lalu lambat laun saya mulai tahu siapa itu Mbah Nun –dulu seringnya saya menyebut Cak Nun dan saya suka membuka youtube untuk melihat acara-acara bersama Mbah Nun, pada waktu itu perkembangan pengguna youtube belum semasif sekarang, dulu orang masih eman kalau membuka youtube, takut kuotanya habis dan lain sebagainya. Namun di tengah saya sudah nyaman dengan keadaan tersebut, saya dibenturkan kembali dengan hal-hal yang membuat saya bimbang, karena dari dulu Mbah Nun sering sekali diberitakan dengan nada negatif, adu domba, contoh saja soal hal toleransi, dan lainnya, sehingga memunculkan orang-orang pembenci beliau lantas menciptakan frasa "belajar agama kok sama budayawan". Tapi dari sana saya tetap meyakini apa yang sudah saya cari dan tempati tersebut sudah merupakan tempat yang nyaman, rumah yang memberikan ketenteraman satu sama lain, hingga saya mencoba tetap istiqomah. Kalau dipikir-pikir saya merasa dapat bantuan dari Allah dalam pencarian saya tersebut, karena pada tahun-tahun itu secara tidak sengaja Mbah Nun dan Kiai Kanjeng sering mengisi acara sinau bareng disekitaran Pati, Kudus sehingga dalam pencarian saya serta mencari siapa Mbah Nun terasa mendapat bantuan dan dimudahkan, sehingga saya selain menjadi jamaah youtub saya sering datang ke acara sinau bareng Mbah Nun, dalam perjalanan pencarian tersebut saya selalu sendiri, karena saya merasa tidak memiliki teman yang mempunyai kegelisahan seperti saya, sehingga saya memang harus mencarinya sendiri, ke mana-mana sendiri, tahu sendiri kan acara Mbah Nun yang bersama masyarakat kecil selalu berada di pelosok-pelosok desa, pernah suatu ketika ada acara di Pati namun berada di beda kecamatan di mana saya tinggal, dan saya sendiri belum pernah ke kecamatan tersebut, hanya karena kangen dan rasa penasaran atas pencarian tersebut saya jalani menyusuri jalan yang belum pernah sama sekali saya lalui, dan pada saat itu penggunaan Google Map belum setenar sekarang, walaupun pada waktu itu saya sudah menggunakannya, cuma kendalanya ada di sinyal, karena daerah saya lumayan pelosok –kalau boleh dibilang, namun ketika sudah sampai pada tempatnya saya merasa senang, bahagia, hati saya merasa tenteram, seaakan kerontang di tenggorokan sedang disiram tetesan air yang menyejukan, walapun saya sering memikirkan, bagaimana saya nanti pulangnya, haha, karena memang saya sendiri, tidak ada teman. Pernah pula suatu ketika ada acara sinau bareng Mbah Nun di Kudus, dan saya datang dari Pati ke Kudus sendirian, dan tahu sendiri pukul berapa tiap acara Mbah Nun selesai, pasti tengah malam. Namun saya tidak merasa takut di dalam perjalanan, saya percaya malaikat-malaikat Allah diturunkan untuk menjaga sepanjang perjalanan saya, karena saya yakin, setiap niat baik saya, Allah bukan hanya memuji, tapi juga memfasilitasi. Berkat kejadian yang tidak disengaja seperti acara sinau bareng Mbah Nun banyak di sekitar Pati Kudus, saya merasa semakin yakin bahwa inilah rumah yang selama ini saya cari, kebimbangan-kebimbangan soal Mbah Nun yang dijelek-jelekan orang menjadi angin lalu buat saya, karena kebesaran hati beliau tidak pernah membenci siapapun bahkan yang ingin mencelakan beliau, karena dari Mbah Nun saya diajari dan akhirnya mampu merasa rindu se rindu rindunya dengan kekasih Allah Kanjeng Nabi Muhammad saw, dari Mbah Nun saya diajarkan agar menyembah, berdoa, bergantung hanya kepada Allah, dan mengharap syafaat kepada Kanjeng Nabi Muhammad saw. Saya selalu ingat nasihat beliau,
Urip yo ngunu iku rek, masio lunyu kudu tetep menek
Tentang frasa yang dibuat oleh orang yang membenci beliau, ternyata secara tidak sadar saya patahkan sendiri karena sering melingkar dengan beliau, ternyata saya tidak –hanya belajar agama dari beliau. Dari beliau saya belajar banyak tentang hidup, tentang beragama yang baik, tentang memafkan orang, tentang membesarkan hati, tentang bekerja keras, tentang apa pun hal yang baik, pokoknya hidup itu berbuat baik kepada siapa pun. Dan beliau selalu bilang, bahwa beliau tidak mau dipanggil Kiai, Ustad, Mursyid, Guru, apalagi kalau sampai dikultuskan, beliau hanya ingin menjadi bapak kita semua, mbah kita semua, beliau hanya ingin diangap sebagai orang yang menemani orang-orang seperti saya, yang mencari ke sana ke mari ketentraman hati, beliau adalah keranjang sampah: segala sesuatu ditampungnya tanpa melihat latar belakang dan segala macam rupa manusia, segala sesuatu dipelihara. Bahkan dari pengalaman bersinggungan dengan maiyah tersebut, selepas lulus SMA pastinya akan meninggalkan Pati, hal yang pertama saya pikirkan adalah bagaimana saya nanti tetap bisa berinteraksi dengan orang-orang maiyah, bisa selalu berkumpul dan melingkar minimal satu bulan sekali, masih bisa ikut sinau bareng bersama Mbah Nun, dan pertimbangan utama tersebut saya rangkum menjadi tiga kota yang saya pastikan kebersamaan itu akan tetap saya dapatkan, yaitu Yogyakarta, Semarang/Solo dan Surabaya, lalu saya dituntun Allah untuk memilih antara Semarang dan Yogyakarta, pada akhirnya sampai sekarang saya menyelami samudera Maiyah di Yogyakarta. Mbah Nun selalu berpesanAku iki nandur, nandur terus, masalah thukul iku kersane Gusti Allah
Dan kebaikan itulah yang selalu beliau tanam, bibit-bibit cinta kasih kepada Allah dan Kanjeng Nabi Muhammad, bibit-bibit kasih sayang kepada semua manusia bahkan kepada semua makhluk Allah, bibit-bibit berbesar hati, dan bibit-bibit lain itu lah yang beliau dundumkan satu-satu kepada kami semua.
Terima kasih Simbah Muhammad Ainun Nadjid
Doa baik selalu kami panjatkan untukmu Mbah Nun, semoga panjang umur agar selalu bisa menemani kami semua, membersamai orang-orang kecil di pedesaan, agar selalu bisa menjadi keranjang sampah bagi manusia-manusia yang dirundung kebingungan akan zaman yang diselimuti kepalsuan. Amin.
0 Tanggapan:
Posting Komentar