Saya tidak menyangka akan menuliskan ini. Hampir 4 tahun lalu saya pernah menulis di Terminal Mojok (dan itu satu-satunya tulisan saya di sana) pada 28 Agustus 2020 dengan judul Nggak Enaknya Jadi Orang Pati Itu Ketika Ditanya Asal Daerah. Waktu itu saya menulis tentang kabupaten di mana saya lahir dan tumbuh setidaknya sampai mengenyam bangku SMA, yaitu Kabupaten Pati. Pemantik tulisan tersebut adalah keresahan saya ketika berkenalan dengan orang yang baru saya temui di jalan, di tempat umum, atau bahkan dengan cewek waktu PDKT dan ditanya “Asalnya dari mana. Mas?”. Saya lumayan sulit untuk menjelaskannya, karena Pati memang tidak populer, saking tidak terkenalnya bahkan dalam tulisan tersebut saya harus mencatut nama kabupaten tetangga seperti Kabupaten Kudus, Jepara, dan Rembang yang lebih diketahui orang untuk mendeskripsikan di mana letak kampung saya.
Sekarang tulisan tersebut sepertinya sudah tidak relevan lagi, karena baru-baru ini hal menggemparkan baru saja terjadi di Kabupaten Pati, tepatnya di Kecamatan Sukolilo, lebih mengerucut lagi di Desa Sumbersoko, yaitu peristiwa pengeroyokan oleh sekelompok warga di desa itu kepada empat orang dari Jakarta dalam kepentingan menjemput mobil rental yang ternyata “menyasar” di desa tersebut, pada akhirnya mengakibatkan 1 dari 4 orang yang dikeroyok meninggal dunia. Saya tidak membenarkan sama sekali tindakan sekelompok warga tersebut dengan main hakim sendiri —walaupun sebenarnya kita sudah tidak percaya dengan lembaga penegak hukum negera ini— tapi pengeroyokan tetaplah bukan jawaban atas peradilan. Kejadian tersebut membuat gempar dunia maya, di media sosial X bahkan “Sukolilo” dan “Pati” menempati tangga trending topik bergantian dari tanggal 8 dan 9 Juni 2024. Walaupun sudah tiga minggu berselang pemberitaan tentang Sukolilo dan Pati tidak segera menyurut, parahnya malah semakin menggila, mulai dari ada informasi orang dengan KTP Sukolilo masuk daftar hitam HRD di perusahaan, orang penyandang identitas Pati halal untuk dimusuhi dan sebagainya, sampai yang paling baru warganet menyerbu Google Maps untuk mengganti beberapa toponimi lokasi di daerah Sukolilo dengan “Sukomaling”, “Kampung Pembunuh”, “Kandang Maling”, “Kampung Penadah” dan lain sebagainya.
Saya menuliskan ini sebagai orang asli kelahiran Sukolilo dan sudah lama tidak tinggal di sana, hanya menyambangi beberapa kali dalam setaun ketika pulang kampung. Memang kampung asli saya bukan di Desa Sumbersoko di mana TKP awal mula keributan dunia maya itu bermula, tapi jelas saya tahu lokasi desa tersebut. Keprihatinan ini saya tuliskan sebagai bentuk wawas diri dan semoga menjadi perspektif yang lain melihat kampung halaman saya, dan tentu saja tulisan ini juga ditujukan kepada orang-orang di Sukolilo lebih khususnya dan lebih luasnya kepada orang Pati. Mungkin sekarang akan banyak bias, karena ingatan saya paling valid tentang daerah tersebut hanya ketika masih tinggal di sana, itupun yang akan sedikit diceritakan di sini ada di desa saya, maksudnya apa yang terjadi di desa saja, belum tentu terjadi pula di desa lain. Sebelum terjadi geger geden di Sumbersoko tersebut, mungkin hanya segelintir yang mengenal Kecamatan Sukolilo di Pati, pertama, kebanyakan orang ketika mendengar “Sukolilo” akan menangkap itu daerah di Surabaya, memang betul itu nama dua kecamatan yang sama persis namun beda lokasi, kedua, mungkin orang-orang yang mengikuti isu lingkungan tentang perjuangan petani di sekitaran Pegunungan Kendeng Utara dalam merebut ruang hidupnya dari rencana pertambangan semen, kalau dari kalian pernah menonton film dokumenter dari Watchdoc berjudul “Samin Vs Semen”, sebagian latar tempat film tersebut ada di Sukolilo Pati.
Saya tidak menafikan jika kampung saya (jika saya menyebut “kampung saya” asosiasinya bisa cakupan Kecamatan Sukolilo walapun pengalaman empirisnya ada di desa saya, maupun kultur Kabupaten Pati secara umum) memang kerap terjadi penyimpangan sosial, jika merujuk pada penjelasan James Vander Zanden yang mendefinisikan sebagai perilaku yang oleh sebagian besar orang dianggap sebagai hal yang tercela serta perbuatan yang berada di luar batas toleransi. Tak akan susah untuk menemukan jègêr (sebutan untuk orang paling jagoan di kampung, orang yang ditakuti dan suka petentengan di lingkungan tersebut, dirujuk dari sosok Mick Jagger vokalis band Rolling Stone) di kampung saya, jègêr dalam konteks tertentu juga bisa menggantikan sebutan preman. Sependek yang saya ingat pergaulan saya waktu SD memang dengan kaum bergajul, orang-orang dengan hobi meneguk miras oplosan, orang-orang yang tidak ragu menggocoh orang lain, orang-orang yang bisa menghabiskan uang untuk berjudi walaupun besok tidak tau makan apa, orang-orang yang hobi berkelahi one to one alias senggel. Di kampung saya ada masanya tiap ada pertunjukan orkes melayu atau dangdut sudah pasti dibumbui tawuran, di sana menonton dangdut harus membawa helm sebagai pelindung kepala dari hantaman godam, atau celurit yang melayang. Bahkan ketika masih SD pernah suatu masa ada tawuran antar desa saya dan desa sebelah yang medan pertempurannya melewati sekolah saya, sehingga wali murid berhamburan dan panik menjemput anak-anak mereka meski pelajaran sedang berlangsung. Ada masanya saya melihat orang lalu lalang membawa parang beserta seperangakat alat tawuran di jalan depan rumah dan saya menyaksikan dari balik dinding kayu sambil ketakutan. Bahkan di masa itu ada desas-desus perkumpulan jègêr yang menamai gengnya dengan Seba akronim dari Senggol bacok. Jika kalian kebingungan dengan akronim semacam itu, coba menilik pada tahun 2008 ada geng bernama Nero yang juga lahir di Pati, Nero sendiri merupakan akronim dari Neko-neko dikeroyok alias Macam-macam dikeroyok. Kalau dijelaskan secara sederhana, lingkungan yang penuh dengan bau kejantanan.
Saya sendiri sejak menginjak SMP “dibuang” orang tua ke pusat Kabupaten Pati untuk melanjutkan pendidikan semata-mata agar terhindar dari lingkungan yang seperti itu. Sebagai gambaran, jarak Sukolilo dari pusat Kabupaten Pati kurang lebih 30 km. Pada waktu itu saya mengira bergaul serta hidup di lingkungan kampung saya adalah sesuatu yang lumrah saja dan menganggap penyimpangan norma itu memang bagian dari hidup –yang fana– ini, namun baru saya sadari bahwa ada masyarakat lain yang tidak melakukan apa yang biasa orang di kampung saya kerjakan. Kesadaran semacam itu baru tumbuh semenjak “keluar” dari kampung, hal tersebut juga yang akhirnya mengingatkan saya dengan cultural transmission, bahwa tiap orang mempelajari kultur baru ketika menjumpai dan akhirnya bercokol di lingkungan baru tersebut, yang kemudian dasar perilaku dari cultural transmission tersebut dipakai Edwin H. Sutherland untuk merumuskan teori penyimpangan sosial yang dinamakan Differential Association Theory. Sebenarnya sejauh saya melihat sekarang, hal-hal seperti tawuran antar desa sudah mulai tidak ada, walaupun jègêr selalu ada dan berlipat ganda. Dan sebaiknya hal-hal semacam itu segera disadari oleh segelintir masyarakat di sana yang suka membuat rusuh. Menjadi jagoan dan bebal memang mudah teman-teman, tidak perlu menjadi cerdas, hanya sifat tamak, merasa benar sendiri, dan berani mati sembari dikelilingi lingkungan maskulin dengan slogan “segala persoalan bisa diselesaikan dengan perkelahian”. Fuck your act, dude!
Jauh sebelum kejadian buruk yang terjadi di kampung halaman saya tersebut, sebenarnya Pati sudah sering terekspos di media sosial, sering kali karena ada video viral yang menggambarkan pernikahan di daerah Pati dengan hantaran atau mahar pernikahan yang hedon. Adu gengsi semacam itu memang lumrah di beberapa daerah di Indonesia, tapi terkhusus di Pati seringkali benda-benda mahar yang diboyong dari rumah pengantin pria ke kediaman pengantin wanita tersebut terlampau berlebihan. Tidak jarang sepasang kekasih mengakhiri hubungannya ketika si laki-laki kepentok tidak bisa memenuhi gengsi mahar jika kebetulan pacarnya berkampung di Pati. Hal norak semacam itu bisa langgeng karena memang dipelihara secara turun temurun, diceritakan secara lisan antar tetangga dan menjadi pembicaraan yang diagung-agungkan, efek domino bekerja, akhirnya berlombalah orang-orang sekitarnya untuk meniru hal serupa walaupun harus dengan menjual sawah minimal sebau. Sifat hedonis yang dilestarikan tersebut memang patut untuk dibinasakan. Pasalnya kehedonan semacam itu menjadi standar orang untuk ditempeli label “sukses” apabila telah mempunyai barang atau aset tertentu, terkhusus kendaraan mesin beroda empat bernama mobil, walaupun memang hal semacam ini hampir terjadi di seluruh penjuru masyarakat dengan rata-rata IQ 78.49 ini. Hal tersebut mendasari kenapa mobil menjadi barang serupa berhala, bahkan dalam pengertian tertentu hierarti kemakmuran suatu keluarga bisa dinilai dengan mobil apa yang terparkir di garasi rumahnya, untuk kemudian akhirnya kita akan paham apa yang terjadi di Sumbersoko.
Saya tentu tidak bisa menahan amarah warganet dengan peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi di Sukolilo, sampai pada hal yang terlampau berlebihan yaitu seruan “Cancel orang Pati”. Hal semacam itu tentu saja tidak benar, dari sejak masih orok kita tahu peribahasa “Apabila ingin membunuh tikus di lumbung, jangan bakar lumbungnya”, tapi kemarahan secara komunal di dunia maya memang sudah jadi kebiasaan masyarakat kita. Memberi stigma untuk sebuah daerah hanya karena kejadian tertentu pastilah bukan hal yang tepat. Di Sukolilo secara khusus dan di Pati pada umumnya tentu saja tidak kekurangan orang baik, tapi kita tahu kemarau sepanjang tahun juga akan dihapus hujan sehari, peristiwa buruk dan perilaku tidak manusiawi memang tidak hanya terjadi di kampung saya, tapi kejadian buruk tersebut yang mendapat sorot lampu nasional sudah menciptakan stigma tentang kampung tersebut. Kelak jika saya ditanya orang baru dikenal di suatu tempat dan menjawab pertanyaan asal daerah dengan “Pati” kemudian jika diulik lagi menjawab “Sukolilo”, sudah pasti obrolan selanjutnya akan dimulai dengan pertanyaan “Oh, kampung penadah dan pembunuh itu ya?” atau “Katanya di sana motor tidak ada plat nomornya semua?”, pertanyaan semacam itu tentu tidak bisa saya bendung, walaupun tentu saja itu tidak serta merta benar seutuhnya. Saya justru takut adanya labeling dan stigma yang diberikan warganet kepada warga Sumbersoko secara khusus dan meluas Sukolilo dan Pati justru menelurkan penyimpangan sosial baru, sebagaimana yang dikemukakan Edwin M. Lemert dalam Labelyng Theorynya, disebutkan bahwa seseorang menjadi menyimpang karena proses labeling berupa julukan, cap, etiket yang ditujukan kepada seseorang oleh masyarakat, sehingga seseorang bisa melakukan kejahatan sosial sebagaimana yang dilabelkan terhadapnya.
Saya memang tidak menampik punya love-hate relationship dengan kampung halaman, saya lumayan terkenal di lingkaran kecil pertemanan jika suka menyembunyikan identitas, selain alasan logis di paragraf pertama tulisan ini, saya memang suka iseng saja dan selalu tidak pernah menjawab asal usul saya secara serius jika ditanya asalnya dari mana, saya lebih sering menjawab domisili saya yang notabene berpindah-pindah, sehingga teman saya sering menjuluki saya “durhaka dengan kampung halaman”. Walapun KTP saya pada akhirnya berganti dengan domisili yang sekarang, tidak bisa menghapus fakta bahwa saya pernah lahir dan tumbuh di Sukolilo Pati, pun dengan kenangan-kenangan yang masih menempel di tiap jalan-jalan desa yang pernah dilalui roda sepeda saya waktu masih belia. Namun saya juga tidak bisa membantah hal-hal buruk dan penyimpangan sosial yang juga tumbuh di kampung saya tersebut.
Suatu saat apabila anak-anak yang sekarang sedang tumbuh di Pati atau terkhususnya di Sukolilo dan tentu saja tidak paham apa yang terjadi hari-hari ini akan menanggung kemelekatan identitas stigma tersebut di masa yang akan datang, di situlah sejarah sudah diciptakan. Selamat atas kecerebohon kolektif kalian para segelintir jagoan kesiangan. Itulah hari kematian Sukolilo yang saya maksud, untuk itu kenapa saya memberi judul tulisan ini sebagai obituari kampung halaman. Tentu ini bukan obituari untuk manusia, berbeda dengan kematian manusia yang kita tak akan pernah melihat sosok fisiknya lagi, tentu ini bukan kematian abadi, saya berharap kematian kampung halaman saya ini sabagai tonggak untuk bangkit dan hidup kembali, kematiaan ini yang saya maksud sebagai perasaan wawas diri dan menyadari hal-hal buruk yang terjadi belakangan pun mungkin di waktu-waktu lalu untuk kemudian dapat disadari lalu bersama-sama berusaha melahirkan kembali komunitas masyarakat yang lambat laun menuju madani. Kita sudahi dark ages era itu, dan menyongsong hari-hari kedepan yang mencerahkan. Seperti nama Sukolilo yang berasal dari kata “suka (senang)” dan “rela (ikhlas)”, sudah sepatutnya masyarakat di sana kembali pada harapan asma Sukolilo dengan mewujudkan komunitas yang memiliki budi pekerti baik, senang memberi dan ikhlas menolong.
0 Tanggapan:
Posting Komentar