Kambing & Hujan serta Kenangan Tentang Desa

Buku  Kambing & Hujan
Buku ini, ya buku Kambing & Hujan yang ditulis oleh Mahfud Ikhwan itu sudah lama mentereng di rak buku kontraan tempat tinggal saya di Jogja, tepatnya setelah saya beli Awal Februari lalu dari seorang penjual buku online  yang selama ini menjadi -kalau boleh dibilang-  langganan saya ketika saya menginginkan sebuah buku, paling tidak ketika tertarik pada sebuah buku ketika di beranda facebook melihat penjual buku online  tersebut sedang mengulas atau lebih tepatnya menjual buku-bukunya.

Mas Iqro, seperti itu saya memanggilnya, meski saya tahu itu bukan nama aslinya, kalau dia seorang penulis bisa jadi itu nama penanya, kalau dia artis bisa jadi itu nama panggungnya, tapi tak masalah soal nama itu, yang penting saya punya panggilan untuk orang yang selama ini membantu saya mendapatkan buku-buku yang saya inginkan ketika malas pergi ke toko buku. Saya sudah beberapa kali membeli buku dari Mas Iqro, terutama belakangan ini, ketika saya sedang mengumpulkan buku-buku tulisan Emha Ainun Nadjib atau lebih dikenal dengan Cak Nun. Saya adalah orang yang senang membeli buku tapi sungguh sangat bertolak belakang dengan minat membacanya, biasanya buku yang telah saya beli hanya saya simpan di rak buku yang juga pula bukan rak buku saya, dan akan saya baca ketika saya sedang benar-benar punya keinginan.

Awal puasa kemarin baru saja saya selesai membaca sebuah roman Kambing & Hujan, dan sebenarnya awal puasa pula saya membuat tulisan ini, namun hampir satu bulan hanya tersimpan di draf, dan baru sempat saya teruskan lagi kali ini. Membaca Kambing &  Hujan memunculkan lagi kenangan waktu kecil, mengingatkan saya pada desa tempat saya mengenyam masa kanak-kanak, yang  sejak lulus dari Sekolah Dasar saya sudah tidak benar-benar tinggal di desa tersebut, karena ketika musim belajar tiba tentu saja saya kembali ke tempat 'persinggahan' dan dulu saya pasti pulang seminggu sekali hanya untuk menjenguk desa yang masih dengan sawah yang berlimpah, udara yang sejuk, tetangga yang ramah, tempat yang aman, dan tentunya teman-teman bermain waktu itu. Namun kini jangankan seminggu, sebulan saja tidak pasti saya pulang, walapun Pati-Jogja itu tidak terlalu jauh, 4 jam perjalanan dengan motor pun insyaAllah sampai.

Membaca kisah Mif dan Fauzia rasa-rasanya saya sedang pulang kampung, namun tidak sedang di rumah, saya pulang dari Jogja dan masuk rumah untuk sekedar meletakkan tas lalu pergi ke luar lagi, menjauhi rumah, RT lalu RW dan puncaknya tepat di perbatasan desa, dari sana saya melihat kehidupan desa saya dari dekat ketika mambaca Kambing & Hujan. Jika di buku Kambing & Hujan terlihat jelas perbedaan antara NU dan Muhammadiyah dengan adanya Masjid Centong Selatan dan Masjid Centong Utara, di desa saya tak begitu kentara, dikarenakan orang Muhammadiyah memang tak sebanyak Nahdliyin. Di sini saya tidak membahas soal tetek bengek NU-Muhammadiyah yang bagi saya klise itu, tapi kenangan-kenangan tentang desa tempat saya mengasuh masa kecil, yang tak sengaja muncul bersamaan dengan membaca Kambing & Hujan.

Persahabatan

Persahabatan Is dan Mat pada Kambing & Hujan memang persahabatan yang sangat bisa terjadi di kehidupan desa, karena latar waktu persabatan Is dan Mat yang berlangsung tahun 60-an tentu bagi saya peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kurun waktu tersebut hanya dapat saya temui di cerita-cerita orang  tua atau buku-buku sejarah waktu SMP, SMA. Namun disamping itu, saya teringat teman SD saya, ini bukan soal saya dengan teman saya itu, namun teman saya dengan sahabatnya, yang bisa dibilang hampir sama dengan kisah Is dan Mat, namun tidak dengan terputusnya ikatan mereka.
”Kita dulu mengira bapak-bapak kita adalah dua musuh bebuyutan yang tak terdamaikan. Ternyata, mereka dua sahabat karib, bahkan memanggil dengan panggilan “saudara”. Bukannya itu justru sangat menggembirakan?”Kambing & Hujan, hlm. 152

Kebiasaan

Sudah menjadi hal yang lumrah bagi orang desa belajar ngaji, selain belajar formal waktu pagi sampai siang, ba'da ashar harus kembali bergegas menjemput ilmu, apa lagi kalau bukan ngaji. Ngaji memang sudah menjadi kebiasaan yang bahkan diharuskan untuk dilakukan anak-anak, hampir semua langgar di desa setiap sorenya pasti dikerumuni banyak anak-anak yang siap mengaji. Namun bukan soal yang gampang menyuruh anak-anak untuk pergi ke langgar, saya salah satunya. Jika  pada roman Kambing & Hujan dikisahkan Is dan Mat begitu semangatnya mengaji di langgar, berbeda dengan saya waktu itu, jadwal mengaji berlangsung dari Hari Senin-Kamis ditambah Sabtu, karena hari Jumat memang libur. Namun, hampir setiap minggu pasti ada hari yang absen, setiap waktu ngaji tiba pasti jurus ampuh: pura-pura tidur adalah andalan, hingga tak jarang sampai tertidur beneran, maka absen lah mengaji. Kalau tidak begitu, ketika waktu mengaji tiba saya tidak sedang di rumah, sering bermain ke luar desa, mengeluarkan jurus ampuh satunya lagi: pura-pura lupa waktu, alhasil absen lah mengaji. Memang benar jika kita menanam kita pun yang akan menuai hasilnya, dari kebiasaan buruk itu saya telat naik jilid mengaji diantara teman-teman. Dalam mengaji memang mempunyai tingkatan atau yang dinamakan naik jilid, pada saat itu saya masih mengaji menggunakan buku kecil 'Iqro', entah sekarang masih menggunakan itu atau tidak, dan apabila telah menyelesaikan 'Iqro' barulah boleh masuk ke Juz Amma dan kemudian ngaji Al Quran, begitulah tingkatan mengaji di langgar desaku dulu. Yang masih teringat kuat adalah bukan soal saya telat naik jilid, tapi ketika saya mengaji dulu tidak pernah menggunakan tas seperti ketika sekolah formal, untuk membawa buku-buku Iqro dan buku catatan untuk mencatat materi mengaji yang lain selalu saya letakkan di tas plastik berwarna putih, dulu sehabis membeli sepatu pasti akan mendapatkan tas plastik yang digunakan untuk membungkus sepatu dari toko tersebut(biasanya tas platik tersebut ada label nama toko tempat barang dibeli), plastik tersebut lah yang menjadi teman ketika saya mengaji, disamping baju koko berwarna oranye yang saya punya satu-satunya waktu itu.

NU-Muhammadiyah

Pertama membaca Kambing & Hujan adalah satu hari tepat sebelum masuk bulan puasa, dan menjelang akhir cerita roman Kambing & Hujan memang diceritakan dengan latar bulan puasa, tentu sudah dapat diketahui apa yang biasa ada di bulan puasa, apa lagi kalau bukan sholat tarawih, ini tak menyoal tentang 8 rakaat atau 20 rakaat, tapi soal kenangan sholat tarawih di desa saya. Karena hampir 1 bulan penuh saya puasa berada di Jogja, tentu tarawih di masjid-masjid Jogja kebanyakan 8 rakaat karena ditambah ceramah, jadi bagi saya sudah biasa. Toh ketika saya tinggal di Pati Kota selama bulan ramadhan selalu Sholat di masjid Muhammadiyah. Selama ini saya hanya merasakan shalat tarawih 20 rakaat plus 3 rakaat sholat witir hanya di desa saya dan di masjid-masjid yang sehabis adzan berkumandang 'pujian'. Karena ketika di rumah pun saya selalu di imami bapak saya dengan 8 rakaat, bapak saya memang bukan orang Nahdliyin, beliau selalu berkata "Melu pemerintah wae, sing nasional-nasional wae" artinya "Ikut pemerintah saja, yang nasional-nasional saja", karena background  pendidikan bapak saya adalah di sekolah Muhammadiyah tentu saja tidak mungkin lepas begitu saja dengan unsur muhammadiyah, contohnya beliau dengan hafal sering menyanyikan lagu Sang Surya yang notabenenya Mars Muhammadiyah itu, dan hal sholat tarawih tadi, namun bapak saya juga bukan benar-benar orang Muhammadiyah, karena beliau pun sering diundang tetangga untuk ikut tahlilan, ketika menjelang puasa dan lebaran juga nyekar ke makam, dan melakukan kebiasaan-kebiasaan orang Nahdliyin, dengan begitu saya hanya mengiyakan kalau bapak bilang: "Melu pemerintah wae, sing nasional-nasional wae". Bukan hanya bapak saya, ibu dan kakak saya sempat mengenyam pendidikan di sekolah atau universitas Muhammadiyah, hanya saya yang tidak pernah, dan pergaulan saya selama ini memang lebih condong bersama orang-orang Nahdliyin, namun perbedaan NU-Muhammadiyah itu tak pernah kentara ketika semua berkumpul di rumah. Rasa-rasanya, entah NU, entah Muhammadiyah yang lebih penting kita tetap satu atap yang sama, yaitu Islam.

Hubungan Cinta

Membicarakan Kambing & Hujan rasanya tak afdol kalau melewatkan kisah cinta Mif dan Fauzia, kisah cinta yang terhalang restu orang tua karena 'beda masjid', namun perjuangan Mif dan Fauzia untuk menyatukan dan memperjuangkan cinta mereka memang suatu hal yang lumrah, karena tidak boleh menyerah dahulu sebelum semua itu dicoba. Untuk hal hubungan cinta antara Mif dan Fauzia memang sampai sekarang saya belum menemukan hal itu terjadi di desa saya, saya tak langsung menjamin apabila hal tersebut ada, kisahnya bisa sama atau paling tidak nyaris seperti ending pada Kambing & Hujan. Dari banyaknya orang yang membca Kambing & Hujan, jujur saja, saya adalah orang yang ingin sekali berada pada posisi Mif, dan memperjuangkan cinta bersama Fauzia. Namun sayang, seperti pada umumnya orang desa di Kabupaten Pati selatan, pacar saya tentu Nahdliyin, namun saya lebih percaya kalau saya tanya: "kamu Nahdliyin atau Muhammadiyah?" pasti akan dijawab "Aku ngikut kamu aja", "Yaudah berarti kamu nasional saja, ikut pemerintah saja".
Disela-sela saya menulis ini, ada salah satu teman menulis di beranda facebook, kurang lebih seperti ini:
Joko : "Bud Budi, rasa-rasanya ada yang mengganjal yang di lebaran kali ini"
Budi : "La kenapa, Ko? Istrimu belum masak opor buat besok? Atau anakmu belum kamu belikan baju baru?"
Joko : "Bukan, bukan soal itu, itu sih sudah clear semua"
Budi : "La terus, kanapa Ko?"
Joko : "La ini aku juga mikir"
Joko berpikir keras
Joko : "O, iya aku ingat Bud"
Budi : " Apa, Ko?"
Joko : " Ternyata NU dan Muhammadiyah lebarannya sama tahun ini, jadi ndak greged"
Budi : "Oooo, semprul! Tapi iya, ya"
Joko dan Budi : "Hahaha"
Dengan demikian, selamat Idul Fitri 1437 H, Minal Aidin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

0 Tanggapan:

Posting Komentar

__________

ARSIP

MEMBILANG