Perjalanan Pendek yang Sepanjangnya Pelajaran

Sepertinya, setiap dari sebab yang kita lakukan pasti akan menemui akibat, dan dari sana kita belajar untuk mengerti apa itu hubungan sebab-akibat, lebih jauhnya lagi memahami apa itu kehidupan.

Dari kebanyakan hal yang saya kerjakan, melakukan sesuatu tanpa direncanakan sebelumnya adalah hal yang membuat saya mampu mengambil banyak pelajaran di sana. Seperti akhir pekan bulan Maret lalu, di Hari Sabtu dan Minggu tanggal 24-25 Maret 2018 saya bersama teman pergi ke Demak. Namanya Bokir, tentu ini hanya nama panggilan, nama aslinya Ridho. Tujuan awal memang mau menyusuri Demak sampai Kudus, namun karena keterbatasan waktu, kami urungkan menyusuri 2 kota sekaligus yang mana kental dengan Walisongo tersebut. Perjalanan yang kami lakukan ini belum pernah saya maupun Bokir lakukan, kami sama-sama tidak memiliki pengalaman, terlebih perjalanan ini kami lakukan malam hari dengan naik tranportasi umum rencananya, namun semua rencana berubah di sepanjang perjalanan.

Sebuah Rencana Menyepi.
Sore itu saya menghubungi Bokir, kami berdua sudah lama merencanakan camping hanya berdua saja atau ingin menyelami kata sepi dan sunyi, rencana itu kami gagas setelah kami melakukan survei berbagai pantai di Gunungkidul, kami sepakat akan kembali di salah satu pantai yang kami survei dan akan menyepi untuk sekedar berdiam diri satu malam. Pada hari yang telah ditentukan, Bokir menghampiri saya di kos, yang mana merupakan kos dia juga sebelumnya, dia datang menggunakan pakaian kasual dengan tas carrier di punggungnya, saya kaget, karena ketika Bokir sampai di kos hari sudah petang, matahari sudah istirahat di ufuk barat, azan magrib sudah berkumandang, saya pikir tak akan jadi ke pantai karena waktu yang sudah tak memadahi. Karena sudah petang dan kami tak menemukan titik terang, hampir saja rencana yang sebenarnya dadakan ini batal. Namun dengan pikiran seadaanya teman saya nyeletuk

"Yok, ning Cirebon"

Saya tentu ingin misuh mendengar kalimat ajakan itu, sebab Hari Senin kami harus sudah di Jogja karena ada ujian kuliah di Hari Selasa, sedangkan perbincangan itu terlaksana pada Sabtu malam. Dengan pikiran yang juga seadanya saya nyeletuk,

"Yok Demak, Kudus, ning mung muter-muter wae. Ning Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria"
"Cusss" begitu sahut Bokir singkat.

Sebuah Pelajaran Dimulai Dari Sini.
Diskusi kami itu memakan waktu sampai Isya', lantas setelah sembahyang kami bergegas memesan grab car menuju ke Terminal Jombor, karena kami berdua sama-sama tidak memiliki pengalaman sebelumnya, sesampai di terminal ternyata transportasi umum sudah tidak ada sama sekali, terminal sepi, hanya ada dua mobil (saya lupa mobil apa) dan satu bus TransJogja yang ketika saya turun dari grab car bus itu pergi, dari kejauhan ada bapak-bapak yang dengan lantang menawarkan tiket, Bokir menemui bapak yang menawarkan tiket tersebut dan membeli 2 tiket, saya sudah merasa ada yang aneh karena tidak ada bus yang terparkir siap berangkat pada saat itu, kemudian kegelisahan saya terjawab,

"Nanti naik mobil itu mas" Sambil menunjuk ke salah satu mobil yang terparkir, pada saat itu ada 2 mobil yang terparkir. Saya sambil memandang Bokir dengan muka kaget

"Travel cuk iku."
"Iyo, aku yo kaget, ora ngerti."
"Piro regane?"
"60, 120 wong loro"

Kami berdua hanya menyesali apa yang baru saja kami lakukan, bukan hanya karena salah membeli tiket travel yang mana lebih mahal daripada tiket bus, tapi karena kami tidak cek dan ricek dahulu apakah ada transportasi umum dari Jogja ke Semarang lewat Magelang menggunakan bus umum pada malam hari. Akhirnya, karena hanya itu kendaraan yang dapat mengantarkan kami menuju Semarang sebelum ke Demak, yasudah kami terima saja kesialan pertama ini, ya masak mau pulang ke kos lagi, sudah terlanjur pamit e 😂. Tujuan kami pertama akan ke Undip, lebih tepatnya di Masjid Kampus Undip untuk nunut istirahat. Kami berangkat dari Jogja hampir jam 9 malam, sampai Semarang kurang lebih jam 11 malam, sialnya saya juga baru tahu kalau nanti bakal diturunkan di Temon, daerah itu berada agak jauh ke selatan dari kampus Undip, daerah tempat bus jalur Semarang menuju Jogja mangkal, kalau mau ke Semarang dari Jogja pasti akan melewati daerah tersebut. Sesampai di Temon kami bingung mau ke mana, tapi jarak dari kami diturunkan masih agak jauh dari Undip, karena bingung kami lantas menyebrang ke jalan seberang untuk mampir ke minimarket sebentar, selepas membeli snack dan makan minum sebentar, kami dirundung kebingungan. Waktu terus berjalan dan sudah masuk tengah malam, kami sempat tanya orang yang ada disekitar dan kami ditawari untuk memakai jasa ojek untuk mengantar ke daerah yang akan kami tuju, tapi karena kami sudah berani memulai perjalanan yang absurd ini, maka kami juga harus berani melanjutkan keabsurdan ini, kami jalan kaki dari Temon menuju ke Masjid Kampus Undip, pada tengah malam, lumayan melelahkan memang. Sekitar hampir jam 1 dini hari kami sampai di Masjid Kampus Undip, tanpa berpikir panjang kami segera rebahan dan beristirahat.

Keesokan Hari Penuh Gembira.
Kami dibagunkan azan subuh dari masjid yang berandanya kami tumpangi untuk tidur, karena merasa dipanggil, kami segera merapikan tas yang kami gunakan sebagai bantalan saat tidur dan segera menuju tempat wudhu. Pagi menjelang, kami sejujurnya bingung mau bagaimana agar sampai Demak, saya hubungi pacar saya Dinar yang kebetulan tidak pulang kampung, niat saya hanya mengabari bahwa saya dengan satu teman sedang di Undip dan bolehlah disambut dan membawakan sarapan, cielahhhhh. Tapi tak pernah kami duga sebelumnya, pacar saya yang cerewet dan banyak tanya menyebabkan kami ketahuan kalau hanya klontang-klantung  di Semarang yang pada saat itu sedang bingung bagaimana caranya bisa ke Demak dari Tembalang. Akhirnya, dengan menggunakan jurus memelas dipinjamilah kami sebuah sepeda motor Yamaha Mio Sporty CW keluaran tahun 2010 milik pacar saya.

Tanpa berpikir panjang saya dan Bokir segera menemui pacar saya, kemudian berbincang sebentar, foto-foto, dan mempertemukan kutub kerinduan dari masing-masing dari kami, tanpa waktu lama saya dan Bokir kemudian meminjam dua helm dan satu sepeda motor lalu pamitan dan bergegas menuju ke Demak. Bokir yang bertugas mengendarai sepeda motor, saya membonceng dengan memberi  isyarat navigasi menuju destinasi yang akan kami kunjungi seharian.

Perjalanan kami lakukan dengan penuh kegembiraan, sepanjang perjalanan kami menikmati pemandangan hiruk pikuk kehidupan Semarang atas menuju Semarang bawah yang mulai hidup, kendaraan mulai berdesakan mengambil tempat, orang-orang berlalu-lalang, sepertinya mereka sedang melakukan kegiatan untuk mengisi liburan akhir pekan. Di tengah perjalanan otak kami bercabang memikirkan untuk singgah ke Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), karena kami batal menggunakan transportasi umum yang beruntungnya digantikan menggunakan sepeda motor, maka kami bebas untuk singgah ke mana saja, hingga akhirnya kami memutuskan untuk mampir  ke MAJT. Kami tidak lama-lama di sana, setelah sampai kami hanya memandang keriuhan halaman masjid yang diisi masyarakat sekitar maupun luar kota untuk menghabiskan waktu bersama keluarga, Bokir keliling melihat-lihat masjid yang secara sepintas halamanyya memiliki kemiripan dengan Masjidil Haram karena memang diadopsi dari sana, yaitu sama-sama memiliki payung yang bisa mekar, sayang sekali saat kami ke sana payung sedang kuncup, sementara saya sesekali mengambil gambar menggunakan kamera buntut saya yang seharusnya memang sudah pensiun, tapi belum ada gantinya, huhuhu :(

Demak Kota Wali.
Setelah puas melihat kehidupan sekitar MAJT, kami bergegas menuju Demak. Jika kita memahami sedikit filosofi, setiap kota atau kabupaten bahkan provinsi di Indonesia selalu memiliki moto filosofis yang mencerminkan daerah tersebut, sebutlah misalnya Pati dengan motonya Kridane Panembah Gebyaring Bumi, namun tidak hanya moto, setiap daerah juga biasanya memiliki semboyan dan juga julukan, misalnya Kudus yang memiliki semboyan Kudus SEMARAK (Sehat, Elok, Maju, Aman, Rapi, Asri, Konstitusional), sementara julukan adalah penamaan daerah  berdasarkan hal yang familier yang dimiliki sebuah daerah tersebut, sebut saja Demak sebagai Kota Wali.

Tanpa perlu waktu lama untuk sampai Demak, karena jalanan longgar tanpa macet, sekitar pukul 9 pagi saya dan Bokir sudah memasuki Kota Demak, kami langsung menuju alun-alun dan singgah ke Masjid Agung Demak yang dibuat pada masa Walisongo tersebut, pada saat itu di masjid ada pengajian yang membuat cukup ramai, sedangkan kami masuk ke area pemakaman Raja-Raja Kerajaan Demak waktu itu, sebut saja Raden Fattah.

Di dalam area pemakaman saya terpisah dengan Bokir, saya hanya sekali melihat dia di dalam area makam, setelah itu tidak bertemu sampai akhirnya janjian bertemu di luar area makam. Saya bersama rombongan entah dari mana memanjatkan zikir dan doa-doa di dalam area makam, setelah saya rasa cukup kemudian menghubungi bokir yang ternyata sudah di luar, saya tidak langsung ke luar menemuinya, tapi jalan-jalan memutari area makam terlebih dahulu.

Di dalam area pemakaman saya melihat banyak peziarah yang datang dari berbagai kota, mereka biasanya rombongan melakukan kegiatan ziarah seperti itu. Setelah saya puas mengambil gambar dan mengamati lingkungan sekitar, saya menuju pintu keluar, di sana disambut para penjual pernak-pernik busana muslim seperti peci, tasbih, sajadah, wangi-wangian, baju muslim, dan lain sebagainya. Di luar saya sudah ditunggu Bokir, setelah beberapa saat keluar area Masjid Agung Demak untuk membeli makanan kami berdua melanjutkan perjalanan ke Makam Sunan Kalijaga yang tidak jauh dari alun-alun Kota Demak.

Bermain dan Istiqomah.
Saya yang sudah beberapa kali ke Demak dan rumah saya bertetangaan dengan kota tersebut sejujurnya belum pernah menginjakkan kaki ke makam Sunan Kalijaga. Jadi, saya dan Bokir sebetulnya sama-sama baru pertama kali. Disepanjang perjalanan menuju ke Makam Sunan Kalijaga kami dibantu oleh google maps, namun kami agak disesatkan oleh fitur dari google itu, kami diarahkan ke jalanan yang sempit dan jarang dilalu kendaraan, walapun memang masih jalanan yang wajar, namun berkat diarahkan ke jalan alternatif itu, kami berdua menemui pemandangan unik disepanjang perjalanan, salah satunya anak-anak yang sedang mandi di sungai.

Saya selalu senang melihat anak-anak bermain di luar rumah, karena hal tersebut yang jarang saya lihat di kota-kota besar, sehingga melihat anak-anak bermain di sungai, tidak cuma ceblang-ceblung mandi, tapi juga manjat-manjat jembatan sungainya, untuk tumpuan loncatan ke sungai menjadi pemandangan yang indah. Bagi sebagaian orang yang tidak pernah menyaksikan hal tersebut saya rasa akan takut dan khawatir, tapi bagi saya itu hal wajar dilakukan anak-anak pedesaan, hal yang lumrah. Semua tergantung pada kebiasaan dan mental anak-anaknya itu sendiri, karena mereka melakukan hal tersebut tidak serta merta hanya satu dua kali tentunya, hal itu sudah menjadi kebiasaan berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan tahunan. Sehingga hal macam itu menjadi hal yang biasa saja. Saya diingatkan dengan masa kecil saya di desa, di hari-hari tertentu selepas pulang sekolah biasanya saya dengan teman-teman pergi ke Sungai Jaratun namanya, sebenarnya terlalu kecil untuk disebut sungai, karena lebarnya hanya sekitar 3-6 meter dan arusnya tidak terlalu cepat, ya kalau di Jogja mungkin setara dengan Selokan Mataram dengan lebar lebih sedikit, cuma bagi anak-anak kedalaman sungai tersebut lumayan menjadi tantangan. Biasanya kalau teman-teman saya mandi di sana, saya hanya melihat mereka dari atas sambil berteduh, karena saya tidak bisa berenang waktu itu, namun suatu hari saya diojok-ojok teman saya agar ikut mandi, kemudian saya memberanikan diri untuk ikut dan hanya main di pinggiran saja, namun tak sengaja teman saya ada yang mendorong saya lumayan agak ke tengah hingga saya panik dan nyaris terbawa arus serta tenggelam waktu itu, peristiwa tersebut masih sangat jelas saya ingat.

Anak-anak itu juga senang sekali saya foto, sesekali saya mendekati mereka, menyaksikan mereka bergaya ketika saya sedang mengintip lewat viewfinder kamera saya, ketika saya sibuk memotret Bokir menunggu di seberang sungai. Saya ingat pada cerita tentang orang Jepang yang setiap harinya bermain origami, tiap hari bergelut dengan origami, sampai berminggu-minggu, bulanan, dan hingga bertahun-tahun, dan apa yang terjadi, dia sekarang menjadi ahli origami yang sangat hebat, mungkin bagi orang lain berpikiran

"Haa, la wong mung origami, nekak nekuk kertas, haa kerjaan opo iku"

tapi bagi orang yang berperan langsung, itu hal yang sangat menyenangkan. Saya jadi kepikiran hal sederhana: istiqomahlah menjadi diri sendiri, karena apa yang kamu dapat adalah buah dari istiqomahmu menjadi diri sendiri.
Bahwa tiadalah kehidupan dunia ini, melainkan main-main dan sendau gurau belaka.
Sesampai di makam Sunan Kalijaga hari sudah siang, kami tidak langsung masuk ke area pemakaman, tapi makan siang terlebih dahulu di sekitar area kompleks pemakaman, setelah itu baru masuk ke area utama makam, di sana banyak sekali rombongan peziarah, lebih banyak daripada di Masjid Agung Demak, terdengar sayup-sayup dari kejauhan

"Rombongan Tayu-Pati, Gunungwungkal-Pati, Kudus, Blora, sandal ditaruh sini" suara penjaga sandal di depan pintu masuk area utama Makam Sunan Kalijaga

Orang-orang di daerah saya memang sering sekali melakukan ziarah,. Setelah antre untuk masuk, kami berdua berhasil memasuki area utama kompleks pemakaman, kami membaur dengan peziarah lainnya, silih berganti zikir dipanjatkan, satu rombongan pulang, satu rombongan lagi datang, seperti itu seterusnya, hingga tak pernah sepi. Kami agak lama di sana, saya menyendiri di belakang bersandar pembatas jalan keluar, sementara Bokir ada di tempat lain etah di sebelah mana. Tiba-tiba setelah beberapa saat saya memejamkan mata Bokir sudah ada di samping saya ketika mata saya terbuka.

Ada hal yang menarik ketika kami ada di area utama pemakaman, ada salah satu peziarah yang teriak keras sekali dengan melafadzkan potongan surah Al-Fatihah bagian "ihdinaa alshshiraatha almustaqiima" berkali-kali dan dengan gesture  tagannya memegang pintu masuk ruangan tengah di mana Sunan Kalijaga disemayamkan. Karena suara dan kegiatannya dirasa mengganggu peziarah yang lain, maka petugas keamanan melakukan penertiban kepada orang tersebut. Suasana kembali tenang, zikir masih terdengar sahut-sahutan dipanjatkan pada setiap rombongan, ada salah satu koordinator rombongan yang saya lihat membawa Handy Talky dan memandu anggota rombongannya dengan alat tersebut.

Ngunduh Wohing Pakarti.
Selepas puas di area pemakaman, kami pun keluar dan menuju tempat parkir. di luar tak disangka langit begitu mendung, awan hitam menyelimuti langit bagian selatan dari tempat kami berdiri dan melihat, rencana kami melanjutkan untuk ke Kudus pantas untuk diurungkan, karena hari sudah akan menginjak sore, sedangkan pukul 4 kami sudah harus sampai Temon untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Jogja, karena tiket bus sudah terlanjut dibelikan Dinar ketika kami berada di Demak. Akhirnya kami beranjak dari Kota Wali menuju ke Kota Atlas, perjalanan ditemani langit yang akan memuntahkan airnya, sebelum masuk Semarang hujan turun derasa sekali, kami lupa membawa jas hujan lantas meneduh sambil berdoa dan cemas-cemas agar segera reda. Menunggu beberapa saat hujan mulai berhenti, kami bisa melanjutkan perjalanan, disepanjang perjalanan masih ditemani langit yang malu-malu akan memuntahkan airnya kembali. Kami melewati jalan yang tidak biasa dilewati orang ketika melakukan perjalanan dari Demak menuju Semarang, alhasil kami serasa lebih lama melakukan perjalanan dan melewati jalan menuju MAJT kembali, disepanjang jalan banyak genangan air yang menandakan betapa derasnya hujan turun, di suatu ruas jalan seberang kami mengendarai sepeda motor ada seorang pemuda yang menuntun sepeda motornya yang mogok akibat banjir, saya dengan merasa tak berdosa dan dengan candaan mentertawainya, diikuti dengan Bokir. Kami serasa mengejek anak kecil yang sedang jatuh ketika sedang bermain, tertawa kami sangat lepas sekali.

Kami merasa baik-baik saja sepanjang perjalanan, hingga sampai pada belokan menuju ruas jalan depan MAJT, tak disangka-sangka ruas jalan yang baru pertama kali kami lewati tadi pagi sekarang sudah digenangi air tinggi sekali, kami sudah terlanjur berbelok ke ruas jalan tersebut yang merupakan lebih menurun daripada ruas jalan depannya, alhasil tidak bisa berputar balik karena pasti akan mogok motornya. Bokir memutar gas sekencang mungkin dengan saya yang masih heran heran dan ketawa-ketawa,

"Bajilakkk, banjir Cuk, piye iki dowo buangett"

Banjir yang panjang sekali itu membuat motor Dinar tersendat-sendat, kami hampir sampai pada jalanan yang agak tinggi dan genangan air tidak ada, hanya beberapa meter di depan kami, tapi namanya nasib, motor yang kami tumpangi tak mampu bertahan lebih lama, akhirnya sudah mogok duluan di tengah genangan air yang tingginya lumayan untuk membuat motor matic ini ngambek. Kesialan terjadi.

Kami menepi di depan rumah warga untuk mencoba menghidupkan motornya, ealah pas mau dihidupkan, kunci motornya ternyata tidak ada,

"Bajingukkkkkkk!!!" umpatku dalam hati

Sudah jatuh tertimpa
buah durianeh tangga. Saya agak kesal dan menyuruh Bokir untuk mencarinya, tapi saya paham tidak akan berhasil, karena posisi kami sedang di antara genangan air, kalaupun jatuh pasti sudah tenggelam di dalam air yang menggenang tersebut, atau malah bisa jadi sudah jatuh sebelum kami sampai di ruas jalan yang banjir. Bokir terlihat bingung dan bertanya-tanya dengan warga sekitar untuk mendapatkan informasi ahli kunci di sekitar daerah tersebut, sedangkan saya sibuk menghubungi Dinar perihal kesialan yang kami terima. Saya baru sadar kalau tiket bus yang akan mengantarkan kami ke Jogja dijadwalkan pukul 16.30 WIB, tapi saya dapat informasi kalau kami perlu registrasi ulang dulu, oleh karenanya pukul 16.00 WIB sudah harus sampai sana. Pada saat panik tersebut, jam sudah menunjukan pukul 15.00 WIB, motor masih mogok, kunci hilang, dan berada di daerah yang cukup jauh dari Tembalang. Dengan harapan yang hanya beberapa persen kami memutuskan berjalan menuju tempat yang tidak tergenang air terlebih dahulu. Menurut informasi warga, di depan dari tempat kami berhenti biasanya ada ahli kunci menggelar lapak, tapi karena cuaca yang ektream ditambah Hari Minggu, kemungkinan buka sangat kecil, tapi kami mencoba saja. Di tengah jalan kami menemukan bengkel sepeda motor, kami berbelok dan mencoba menanyakan perihal masalah motor kami yang mogok dan tidak ada kuncinya,

"Mas, niki motore boten wonten kuncine saget diuripke boten?" tanya Bokir kepada montir
"Biasanya bisa, tapi ada yang ndak bisa juga mas"

Saya agak lumayan senang mendengar jawaban yang mengandung harapan tersebut, lalu tak lama kemudian salah satu montir mencoba menghidupkan motor yang tak ada kuncinya tersebut, yang mana saya tak paham bagaimana caranya. Berhasil! motor matic yang tadi ngambek itu berhasil hidup kembali, saya sumringah, Bokir senang, yang lebih senang lagi montirnya tidak mau dibayar, semoga kebahagiaan selalu menyertaimu, MasPlan B kami berhasil, jadi kami melakukan perjalanan terlebih dahulu menuju Tembalang untuk mengejar tiket bus yang sudah terlanjur dibeli, sementara persoalan kunci motor itu menjadi urusan belakangan. Kami mengendarai motor yang harus selalu pada mode on/standby, karena kami tak memiliki kunci untuk mematikan dan menghidupkannya. Singktanya kami telah sampai Tembalang dan bertemu Dinar, lalu tanpa berpikir panjang Bokir naik Gojek menuju ke Temon untuk melakukan registrasi penumpang bus, sementara saya menemani Dinar ke alhi kunci untuk membuat kunci baru motornya, namun waktu tak bisa berkompromi, di tempat ahli kunci ternyata harus menunggu agak lama karena antre, kemudian saya meyakinkan Dinar untuk bisa menggunakan motor tanpa kunci, dengan memberi pengertian dan training kilat, akhirnya Dina berani menggunakan motor tanpa kunci dan saya tidak jadi menemani Dinar kemudian menyusul Bokir yang sudah sampai di pangkalan bus, sesudah saya sampai, Dinar kembali ke ahli kunci untuk mengurus hal yang sempat tertunda tersebut, saya agak cemas, tapi bersyukur kepada Allah, akhirnya persoalan demi persoalan yang kami terima selesai. Dinar sudah berhasil membuat kunci baru untuk motornya, saya dan Bokir tidak ketinggalan bus untuk ke Jogja. Alhamdulillah. Setelah kami sampai Jogja baru bisa membuat lelucon atas apa yang telah kami lakukan,

"Iku mesti gara-gara wingi kae ngece-ngece wong sing motore mogok ning dalan kae"
"Iyo, asem og. Kena karma Cuk"
"Langsunggg, ora tanggung-tanggung"
"Hahahahahaha"
"Bar ziarah ora ntuk pencerahan malah ntuk apes sepanjang dalan"
"Hahahahahaaha" kami berdua tertawa

Begitulah hidup, secanggih apapun kita merencanakan, yang berhak menentukan adalah Tuhan, juga sekecil apapun yang kita lakukan pasti akan menemui balasan, kalau dalam istilah orang Jawa "Ngunduh Wohing Pakarti". Peristiwa demi peristiwa banyak membuat kami belajar mulai dari salah beli tiket berangkat, diturunkan di tempat yang jauh dari tujuan, lupa bawa jas hujan, motor mogok, kunci hilang, dikejar-kejar waktu keberangkatan bus, dan masih banyak lagi. Perjalanan yang singkat dan  pendek itu mengajarkan bahwa setiap sebab yang kita buat akan menemui akibat, dan dari sana kami percaya, bahwa orang baik selalu ada, dan dari sana kami harus dan berusaha untuk selalu menjadi orang baik dimanapun kami berada, karena Allah juga selalu ada, tanpa kehendakNya, tidak akan menjadi cerita yang sedang kalian baca.

0 Tanggapan:

Posting Komentar

__________

ARSIP

MEMBILANG