Yang Berubah di Hari Lebaran

Foto oleh Yazid Nasuha dari Pixabay

Sekitar 7 tahun lalu setiap TV di ruang tengah sudah menyiarkan hasilsidang isbat maka keputusan untuk berangkat ke musala melaksanakan salat tarawih terakhir di Bulan Ramadan juga ditentukan. Jika 1 Syawal ditetapkan lusa maka masih ada satu kali lagi salat tarawih, sementara jika keputusannya besok harinya maka selepas azan isya yang terdengar hanyalah kumandang takbir bersaut-sautan. Jika suara takbir sudah bergema di setiap toa musala dan masjid maka tugas ibu berangkat ke dapur dan menyiapkan masakan untuk keesokan harinya, biasanya yang akan dihidangkan adalah masakan opor ayam dengan seperangkat lontong dan sambel goreng telur. Di desa saya menganut mahzab “kalau hari pertama Idulfitri tidak ada ketupat”, karena hidangan ketupat baru ada satu minggu setelah hari pertama Idulfitri, di desa saya menyebutnya “Bodo Kupat” atau “Lebaran Ketupat”. Ketika malam takbiran seperti itu ibu saya sudah pasti sibuk di dapur, biasanya masakan belum benar-benar matang di malam harinya, ayam yang akan dibuat opor baru dimasak setengah matang juga dengan masakan lainnya lalu ditinggal ibu tidur, masakan benar-benar akan dimasak ketika menjelang subuh, ibu sudah bangun pagi-pagi untuk meneruskan pekerjaannya.

Lalu saya di mana? Jelas, setelah azan isya saya bergegas menemui teman-teman saya, kita sibuk mengarak semacan “ondel-ondel/ogoh-ogoh” yang sudah dibuat 1 minggu sebelumnya, rambut kami cat dengan cat rambut sementara yang hilang jika dibilas dengan air, membawa peralatan obor dan sebagainya, kami ikut takbir keliling dengan nuansa yang agak nakal. Kegiatan itu sekiranya sudah kami lakukan semenjak saya masih SD sampai dengan menginjak SMP, saya melakukan itu terakhir kali kira-kira 7–8 tahun yang lalu, setelah itu saya tidak pernah ikut lagi arak-arakan takbir keliling, tiap malam takbiran saya hanya mengamati dari teras rumah bagaimana berbagai macam kreativitas anak muda di setiap RT yang membuat berbagai macam kreasi semacam “ogoh-ogoh”, bukan karena malas tapi karena teman-teman saya sudah mulai berkurang di desa.

Sejak SMP saya sudah meninggalkan kampung halaman, hidup sendiri di kamar kos setiap harinya, dan pulang ke rumah dalam jangka waktu tertentu, awal SMP tiap minggu saya pulang, lambat laun menjadi 2 minggu sekali, 3 minggu sekali bahkan ketika kuliah seperti ini biasanya pulang hanya 1 semester sekali. Banyak hal yang saya lewatkan di desa, ketika mulai berangkat meninggalkan rumah selalu berharap semua tidak ada yang berubah ketika saya pulang, tapi itu mustahil terjadi, waktu begitu cepat menggerus perubahan-perubahan, ketika saya berangkat serasa tidak ada apa-apa, setelah pulang ternyata tetangga sudah banyak yang meninggal, teman-teman sebaya saya sudah sangat susah ditemui karena sudah banyak yang berkeluarga, juga kebanyakan dari mereka seperti saya: merantau (meninggalkan kampung untuk mencari penghidupan), rumah-tumah tetangga mulai mengalami renovasi, dan tentu orang tua semakin menua, itu yang tidak pernah saya inginkan. Di hari lebaran seperti ini perubahan-perubahan itu sangat nyata.

Dulu sebelum tahun 2006 perkembangan desa saya masih lambat, suasana pedesaan murni masih sangat bisa dirasakan, dan tentunya setiap menjelang lebaran semua kerabat dari garis keturunan ibu semuanya mudik ke rumah, dikarenakan keluarga saya tinggal bersama nenek, yang artinya akan dikunjungi anak-anaknya. Nenek mempunyai 7 orang anak, ibu saya anak ke 6 dari 7 itu, sebelum hari pertama lebaran biasanya anak-anak nenek sudah berada di rumah, tapi ada juga yang datang pas hari pertama lebaran atau setelahnya, yang pasti akan ada satu atau dua hari di mana semua anak dan cucu-cucu nenek berkumpul di rumah kami. Itu sangat menggembirakan bagi keluarga besar saya, tentu dengan saya juga, dan pasti hal seperti itu juga dirasakan bagi mereka yang punya saudara berlimpah.

Namun hal itu mulai berubah ketika satu hari menjelang ulang tahun saya di tahun 2006, nenek yang saya cintai meninggal, tangis saya pecah waktu itu tapi saya sembunyikan di balik pintu kamar, saya ingat betul waktu itu nenek saya tidak sadarkan diri entah karena apa lalu dibawa ke rumah sakit, namun ketika berada diperjalanan nenek sudah meninggalkan kita semua, saya mendengar itu ketika saya sedang mengerjakan pekerjaan rumah (PR) mata pelajaran Bahasa Indonesia, seketika tangis saya pecah di kamar waktu itu juga, sesampainya disemayamkan di rumah saya tidak berani benar-benar melihat wajah nenek. Waktu itu saya masih kecil. Takut.

Sejak nenek meninggal, tiap lebaran rumah tidak seramai dulu lagi, saudara yang biasanya datang di rumah menjelang hari raya hanya beberapa saja yang datang, karena sudah tidak ada nenek yang disungkemi, atau biasanya keluarga yang di desa yang gantian berkunjung ke Semarang, 7 anak dari nenek 5 diantaranya berada di Semarang, sementara 2 lainnya tinggal di desa, salah satunya ibu saya. Perubahan-perubahan itu semakin nyata ketika kakek dari garis keturunan bapak juga meninggal 2 tahun lalu, maka habis sudah kakek dan nenek saya. Sejak lahir saya hanya pernah melihat nenek dari pihak ibu dan kakek dari pihak ayah, karena kakek dari pihak ibu sudah meninggal bahkan ketika ibu saya belum bersuami dengan bapak saya, sementara nenek dari pihak bapak sudah meninggal ketika saya (mungkin) belum dilahirkan.

Ketika nenek dari ibu saya sudah meninggal, satu-satunya acara keluarga besar yang memungkinkan lengkap adalah kumpul keluarga dari garis keturunan bapak, namun semenjak kakek dari bapak juga meninggal maka kumpul keluarga besar dengan anggota lengkap sudah sangat susah saya temui, kecuali ada hajatan dari salah satu keluarga. Hal-hal semacam itu yang selalu menyebalkan ketika menyadari bahwa waktu begitu cepat menyapu kenangan-kenangan kita.

Dan setiap lebaran tiba, waktu seolah berbalik arah dan mengingatkan kenangan-kenangan yang dulu sudah direnggutnya. Memang njengkeli.

Selamat Lebaran 2019.

0 Tanggapan:

Posting Komentar

__________

ARSIP

MEMBILANG