Menulis tentang Didi Kempot tidak akan luput dari patah hati atau dalam bahasa jawa kita sering menyebut loro ati, bagaimana tidak, coba cari lagu Didi Kempot yang nihil akan keterpurukan kefanaan cinta, ditinggal pergi, janji yang tidak ditepati, diduakan cinta, menunggu yang sia-sia, memang ada sih tapi tak akan mampu menggeser semesta patah hati Didi Kempot, maka tak berlebihan jika Didi Kempot mendapat julukan The Godfather of Broken Heart dari barisan sad bois patah hati, tapi jika itu dirasa terlalu menyempitkan semesta Lord Didi, Agus Megelangan menyebut bahwa broken heart adalah Didi Kempot itu sendiri (langsung yang terlintas dikepala bait …wes tak cobo nglaleake, jenengmu soko atiku…), Oh, Lord Didi.
“Tidak ada yang abadi di dunia ini”, begitu kira-kita kalimat yang selalu dilontarkan orang-orang untuk menjelaskan tentang kesementaraan, kefanaan, dan kematian yang selalu saja membayanyi hidup manusia, tapi tidak untuk lagu-lagu Didi Kempot. Lagu “Cidro” yang dibaiat sebagai Hymne Patah Hati Nasional itu tak akan pernah sirna apalagi mampu diterpa kefanaan, lagu itu bukan hanya abadi tapi telah moksa dengan sempurna di tiap senyawa oksigen yang terhirup dan menyebar dialiran sel-sel darah barisan sad bois patah hati.
Mengingat awal bersentuhan dengan Didi Kempot rasa-rasanya sudah sejak masih bayi cindhil abang telinga saya sudah dicekoki dengan lagu-lagu Didi Kempot, tidak mengherankan memang bagi orang Pantura bersentuhan dengan campursari — selain juga dengan orkes melayu atau dangdut — karena pada tiap kegiatan, lagu campursari selalu menjadi penyedap telinga, mulai dari hajatan nikahan, khitanan, hingga sambatan membangun rumah.
Hampir mustahil ketika ada sebuah rumah baru yang sedang dibangun tanpa ada rengeng-rengeng lagu campursari diantaranya, jika memang benar tak ada suara diantara tukang batu yang bekerja, hanya ada dua kemungkinan: pertama, yang punya hajat membangun rumah tidak punya radio dan yang kedua —juga paling masuk akal — listrik sedang padam. Itu juga dulu yang terjadi pada pembongkaran rumah (joglo) nenek saya yang direnovasi lalu dibangun rumah baru dengan bangunan tembok. Waktu itu saya masih duduk di sekolah dasar, sudah menjadi kebiasaan setiap pulang sekolah saya akan bermain di teras rumah joglo itu, ketika pembongkaran rumah mulai dilakukan dan rumah joglo sudah tidak ada bentuknya alias rata dengan tanah, maka tempat bermain saya berpindah di sekitar gundukan pasir yang digunakan untuk membangun rumah baru. Dari situ hampir setiap hari saya akan mendengarkan dendang lagu-lagu Didi Kempot lewat siaran radio yang diputar dan diletakan di kursi dekat saya bermain, lengkap dengan jajanan pasar dan minuman untuk disuguhkan kepada tukang batu yang sedang bekerja. Begitulah sejatinya orang pantura menjalani kehidupannya, tak terlepas dari campursari — juga dangdut — dan lebih-lebih lagi pada Lord Didi.
Masa-masa itu juga masa-masa setelahnya, ketika saya sudah beranjak remaja dan semakin banyak mengenal pilihan genre lagu, dan kebetulan juga lebih banyak tinggal di kota(sebut saja begitu, walaupun yang sebenarnya adalah pusat kabupaten, paling tidak lebih berkemajuan daripada desa tempat tinggla saya waktu kecil), ketika memutar lagu campursari selalu ada sentimen dan judge kepada lagu-lagu tersebut, bawasannya lagu-lagu itu diciptakan kepada orang-orang tua, manusia-manusia yang separuh hidupnya dikerahkan untuk kesejahteraaan keluarga, toh penyanyinya tak terkenal, tidak sering tampil di televisi, apalagi lagunya pakai bahasa jawa, ndeso!. Bagi anak-anak atau lebih tepatnya remaja, alangkah lebih baiknya menghindari lagu-lagu campursari jika tidak mau dicap sebagai cah ndeso atau lebih pahit lagi sebagai cah katrok, akan lebih baik jika anak remaja mendengarkan pop saja atau biar kelihatan keren ya mendengarkan lagu metal, rock, atau sekali-kali blues dan jazz. Stigma itu ikut menjalar kesadaran saya, hingga akhirnya ketika ingin mendengarkan lagu campursari selalu akan saya lakukan sembunyi-sembunyi dan jangan sampai teman sebaya tahu, untung ada teknologi yang di Eropa disebut sebagai kebangkitan liberalisme yang hampir mati, yaitu walkman yang kemudian diterapkan pada setiap handphone lalu kita mengenal earphone, merdekalah kita dalam mendengarkan apapun dari gawai kita.
Belakangan ini atau kurang lebih 4-5 tahun terakhir, stigma itu saya rasa mulai pudar dengan bergantinya lingkungan hidup saya yang tinggal di Yogyakarta. Saya rasa teman-teman lebih bebas ketika ingin mendengarkan lagu apa dan tidak risih terhadap pandangan orang lain, termasuk mendengarkan lagu campursari dan dangdut. Seketika, saya sadari kembali bahwa stigma itu muncul bukan karena lingkungan tempat tinggal, melainkan karena fase berkembangnya kedewasaan seseorang, masa remaja adalah masa-masa emosi sangat fluktuatif, sifat tidak mau kalah selalu mendominasi, ego tidak menentu arahnya, dan berperilaku ikut-ikutan, itulah yang banyak memupuk stigma itu berkembang di dalam diri saya juga. Ketika stigma itu sudah terbuang jauh-jauh, saya mulai bisa menikmati kembali lagu-lagu campursari dengan teman-teman yang juga menikmati, saya rasa juga karena dukungan umur yang sudah cukup memenuhi untuk merasakan loro ati yang sebenar-benarnya (Haqqul Yaqin), karena loro ati bukanlah idiom puitis yang diada-adakan agar kelihatan dramatis, loro ati itu memang rasa sakitnya benar adanya. Maka tidak ada yang lebih nikmat daripada merasakan dan merayakan loro ati dari setiap kata dalam lagu-lagu Lord Didi.
Kemudian dengan munculnya barisan sad bois patah hati adalah awal dari segala terhapusnya stigma di kalangan masyarakat umur tertentu, ini adalah sebuah kebangkitan, kebangkitan yang sudah ditunggu dan diidam-idamkan barisan sad bois loro ati dan dengan begitu semakin meyakinkan saya bahwa campursari adalah sebuah jalan keutamaan untuk merayakan patah hati dengan imam besar kita, Lord Didi.
Yang tidak pernah disadari jamaah puisi, senja, dan kopi bawasannya yang fana bukan hanya waktu, karena kita juga bagiannya, tapi tidak ada yang bisa menafikan bahwa campursari adalah abadi. Tabik.
Mari rayakan loro ati ini dengan menyanyikan bersama-sama Hymne Patah Hati Nasional, Cidro.
Wis sakmestine ati iki nelongso
Wong seng tak tresnani mblenjani janji
Opo ora eling naliko semono
Kebak kembang wangi jroning dodo
Kepiye maneh iki pancen nasibku
Kudu nandang loro kaya mengkene
Remok ati iki yen eling janjine
Ora ngiro jebulmu lamis wae
Gek opo salah awakku iki
Kowe nganti tego mblenjani janji
Opo mergo kahanan uripku iki
Mlerat bondo seje karo uripmu
Aku nelongso mergo kebacut tresno
Ora ngiro seikine cidro
Kepiye maneh iki pancen nasibku
Kudu nandang loro kaya mengkene
Remok ati iki yen eling janjine
Ora ngiro jebulmu lamis wae
Gek opo salah awakku iki
Kowe nganti tego mblenjani janji
Opo mergo kahanan uripku iki
Mlerat bondo seje karo uripmu
Aku nelongso mergo kebacut tresno
Ora ngiro seikine cidro
0 Tanggapan:
Posting Komentar