Cerita Pendek di Argopuro yang Panjang

Dari kanan: Saya, Ridho, Rheza, Prabowo

Hari ini setahun lalu (9 Juli 2019), kami berempat yaitu Ridho, Saya, Bowo, Rheza (foto pertama, dari kiri ke kanan) sedang berada di kawasan Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang, lebih tepatnya di kawasan Gunung Argopuro, Jawa Timur. Tepat pukul 1 siang setahun yang lalu kami pada waktu itu sedang perjalanan menuruni puncak Gunung Argopuro menuju Danau Taman Hidup, setelah semalamnya kami berada di pos Sabana Lonceng, hari itu adalah hari paling menakutkan disepanjang perjalanan 5 hari 4 malam di hutan Argopuro (6 hari 5 malam total perjalanan), akan saya ceritakan di paragraf bawah.

Kami berempat melakukan pendakin ke Gunung Argopuro berangkat dari Malang, karena kami memang sedang berada di Malang waktu itu, dari Malang kami berangkat pagi pada tanggal 5 Juli 2019, dari terminal Arjosari Malang naik bus sampai ke terminal Probolinggo, dari Probolinggo kami naik bus lagi menuju Besuki, sampai sana sudah sekitar jam 4 sore, mungkin setelah hampir satu jam nego dengan ojek untuk mengantarkan kami ke Desa Baderan, akhirnya kami berangkat naik ojek dan tiba di Basecamp Baderan langit sudah petang. Kebetulan ketika kami sampai bertepatan dengan acara peninjauan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur yang mana mengelola Suaka Maragasatwa DT Yang tersebut, untuk diketahui bahwa Gunung Argopuro berada di kawasan suaka margasatwa, bukan di lingkungan taman nasional ataupun kawasan kekuasaan perhutani seperti kebanyakan gunung lainnya di Indonesia, dengan bertepatan acara tersebut akhirnya basecamp yang seharusnya menjadi tempat para pendaki beristirahat sebelum esok harinya melakukan pendakian akhirnya dipakai para pejabat BBKSDA, yang mana memaksa para pendaki (ada tiga rombongan) mengalah untuk menginap ke rumah penduduk, namun setelah kami beberes dan melakukan packing ulang untuk kebutuhan esoknya dan bersiap untuk istirahat di rumah penduduk ternyata kami pun tetap "terusir" karena tempatnya mau dipakai tidur salah satu pejabat, ya akhirnya kami dua kali menelan kekecewaan dan seperti biasa insting orang yang berkegiatan di luar ruang yaitu tidur di tempat ibadah, apalagi kalau bukan mushala. Memang menjengkelkan, tapi ya sudahlah.

Keesokannya tanggal 6 Juli 2019 kami mulai pendakian, rombongan kami berangkat paling akhir, karena yang lain akan mengejar waktu untuk sampai di Cikasur pada hari itu juga, sementara kami sudah memperhitungkan rencana pendakian, jadi lebih santai, sebenarnya kalau ditotal ada empat rombongan, satunya rombongan dari BBKSDA. Dari basecamp kami naik ojek untuk sampai ke perbatasan jalan makadam, setahun lalu kami bisa naik ojek sampai perbatasan masuk kawasan suaka marga satwa, tapi kami hanya sampai batas jalan makadam saja. Dari pertama jalan, kami pikir menuju pos pertama sudah dekat, ternyata kami salah, selepas ditinggal ojek dan mulai jalan sekitar pukul 9 atau 10 pagi kami baru sampai di pos pertama (Mata Air 1) sekitar pukul 12 siang, kami bertemu satu rombongan waktu itu. Setelah kami sedikit istirahat, makan siang dan mengambil pasokan air, sekitar pukul 1 siang kami melanjutkan perjalanan untuk sampai ke pos Mata Air 2, rombongan yang kami temui melanjutkan sampai ke Cikasur, setelah melewati batas masuk kawasan suaka marga satwa akhirnya kami baru sampai pos Mata Air 2 sekitar pukul 5 sore, hari itu kami menginap untuk pertama kali, rombongan kami satu-satunya yang ada di pos Mata Air 2.

Esoknya pada tanggal 7 Juli 2019 ketika selesai sarapan dan akan berkemas untuk melanjutkan perjalanan kami bertemu rombongan yang baru naik dari bawah, mereka kami persilahkan melanjutkan perjalanan terlebih dahulu, walaupun pada akhirnya kami sering berpaspasan disepanjang perjalanan. Perjalanan pada hari itu finish kami di Cikasur, untuk mencapai itu dari Mata Air 2 kami perlu melewati pos Sabana Kecil, Sabana Besar, menyeberang Sungai Qolbu, baru akan sampai Cikasur, walaupun terasa pendek, kami baru sampai di Cikasur pukul hampir 5 sore, tapi sepanjang perjalanan pemandangannya sungguh memanjakan mata. Kami memang berjalan santai dengan menikmati perjalanan, karena tiap target perjalanan pada hari itu sudah kami rencanakan sebelum pendakian.
Pada tanggal 8 Juli 2019 di Cikasur kita hampir menghabiskan setengah hari di sana, kami menikmati indahnya Cikasur yang konon dulu adalah landasan pesawat di zaman kolonial, dan memang di sana terlihat ada bekas bangunan-bangungan, saya sih bengong saja sambil mikir "gimana orang dulu bawa semen, pasir, dll untuk membangun itu ya". Selain hamparan sabana luas, di Cikasur terdapat Sungai Qolbu yang di sepanjang tepinya tumbuh selada air, yang mana pada pagi itu kami sedikit mengambil untuk sarapan yang menunya kami namai "pecel selada air Sungai Qolbu". Di Cikasur ada 4 rombongan, pertama rombongan yang kami temui di pos Mata Air 1 (mereka menginap 2 malam di Cikasur), rombongan dua yang ketemu di pos Mata Air 2, rombongan ketiga adalah kami, dan rombongan keempat baru sampai ketika kami selesai mendirikan tenda, mungkin sekitar pukul 6, langit sudah mulai gelap waktu itu. Dari Cikasur kita berangkat menuju ke pos selanjutnya, yang mana kami tetap yang paling akhir berangkat hahaha. Kami semua (4 rombongan) sampai di tempat terakhir sebelum summit attack ke puncak atau dikenal dengan pertigaan puncak yaitu pos Sabana Lonceng ketika malam sudah larut, rombongan kami sendiri tidak mendirikan tenda di pos, tapi beberapa ratus meter sebelum pos Sabana Lonceng, karena waktu itu sudah sangat larut malam mungkin sekitar pukul 8 malam dan tenaga kami sudah habis, ini perjalanan kami yang paling membutuhkan waktu paling lama, tapi tidak yang paling menakutkan.

Di hari ini setaun yang lalu inilah perjalanan paling menegangkan kami lalui, kami berempat lagi-lagi dari 4 rombongan itu berangkat paling akhir, setelah mendaki ke Puncak Rengganis kemudian turun dan berkemas untuk melanjutkan perjalanan naik ke Puncak Argopuro dan Puncak Arca sekaligus turun menuju basecamp Bermi yang mana akan bermalam terlebih dahulu di Danau Taman Hidup. Celakanya ternyata dari 4 hari yang sudah kami lalui dalam perjalanan tersebut, ini perjalanan dengan rute paling panjang, tapi karena rencana pendakian kami tidak sesuai dengan fakta di lapangan, mengakibatkan kami kehabisan logistik (khususnya air), kami berempat sampai di Puncak Argopuro masih menyisakan setengah botol minum ukuran 1,5 liter untuk kami berempat, di rencana pendakian kami yang mana sudah kami rencankan, atur, dan survei medan lewat peta (kami berempat anak Geodesi, jadi tak perlu diragukan lagi dalam menganalisis dan membaca peta), kami menemukan dua titik mata air selepas turun dari puncak, oleh karenanya di tempat mata air terakhir sebelum Sabana Lonceng (di Sabana Lonceng tidak ada air) kami hanya mengisi air seperlunya untuk kebutuhan masak pada malam hari dan keesokan harinya kemudian untuk mendaki ke puncak, karena pikir kami setelah turun ada dua titik mata air, yang bisa kami gunakan untuk mengisi air yang habis, kalau sesuai rencana pendakian kami, itu sudah rencana yang baik, tapi naasnya dua mata air itu yang merupakan jalur mata air kecil dan sungai besar ternyata semuanya kering kerontang, kami tidak memperhitungkan bahwa waktu itu masih bagian puncaknya musim kemarau, tapi kami tak menduga kalau sungai pun tak menyisakan setetes air. Hari itu kami turun tanpa membawa bekal air, melalui jalan yang sangat terjal, disepanjang perjalanan debu berterbangan, hingga kita sampai pada batas kemampuan manusia: kekurangan cairan, dehidrasi.

Kami melakukan posisi pendakian dengan formasi paling depan Ridho, dilanjutkan Bowo, lalu Rheza dan saya paling akhir, Ridho kondisi fisiknya masih lumayan kuat dan dia yang bertugas sebagai navigator pembawa GPS, sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi, Ridho akhirnya lari dengan sekuat tenaganya yang saya kira juga sudah sangat menipis untuk menyusul rombongan pendaki yang sudah terlebih dulu berada di depan semua (kami rombongan paling akhir) untuk minta pertolongan. Kami yang sudah kelelahan mengejarnya dengan langkah terpongoh-pongoh dan dehidrasi parah, saya lihat Rheza yang membawa logistik paling banyak sudah sangat terlihat kepayahan sekali, sementara Bowo masih membawa tongkat saktinya untuk menyeimbangkan setiap langkah kakinya. Saya yang di belakang harus tetap bertahan karena bertugas memastikan semua orang di depan saya dalam keadaan baik. Tak disangka dari kejauhan Ridho berlari dan membawa satu botol air isotonik 600ml yang kami minum sedikit demi sedikit untuk kami bawa sampai turun menuju Danau Taman Hidup. Kejadian minum air isotonik dari bantuan pendaki lain itu mungkin berlangsung sekitar pukul 4 sore dan kami masih harus berjalan jauh sekali (setelah kami cek di GPS), sementara sebelum magrib kami harus sudah sampai Danau Taman Hidup, iya sebelum magrib, kami tidak boleh ketika matahari terbenam masih di dalam hutan lumut, benar nama tempat yang kami lalui adalah hutan lumut, disepanjang perjalanan pohon di sana dipenuhi lumut, lokasinya sangat tertutup, cahaya tidak bisa masuk, dan kami tidak boleh melewati malam di sana.


Kami dengan tenaga sisa, berjalan dengan tegesa-gesa mengejar waktu dengan bekal air setengah botol 600ml. Waktu itu memang perjalanan sangat berat diantara semua perjalanan, kami berjalan setengah berlari dengan membawa logistik yang berat, kami pikir perjalanan paling berat adalah hari sebelumnya karena kami sampai lewat pukul 8 malam baru sampai tujuan, ternyata hari itu lebih mendebarkan sekali. Syukurlah kami sampai di Danau Taman Hidup sekitar pukul 6.30 malam, dan kami segera mendirikan tenda, di sana, Rheza kelelahan dan langsung tepar, dia yang biasanya menjadi koki terpaksa harus dikerjakan kami bertiga, agar kondisi kami segera membaik kami selepas mengisi perut, beres-beres, ibadah, dan membersihkan badan segera bergegas istirahat.

Di hari terakhir, 10 Juli 2019 kami bangun dengan tenaga yang sudah pulih, menikmati Danau Taman Hidup dan selepas pukul 10 kami melanjutkan perjalanan untuk turun dan sampai di basecamp Bermi sekitar pukul 4 sore. Selama 5 hari 4 malam kami berjalan melewati 42 kilometer jalan setapak, melewati berbagai sabana, melihat tingkah lagu satwa, menyaksikan tumbuhan jancukan disepanjang jalan pendakian, menyeberang dua kabupaten (Situbondo-Probolinggo), dan menjumput cerita-cerita yang kami bawa pulang.

Hari ini satu tahun yang lalu, kami belajar bahwa setiap rencana tidak akan selalu sesuai dengan kenyataan hidup, setiap perencanaan perlu dipikirkan opsi rencana cadangan, dan sesungguhnya hidup adalah menjalani apa yang terjadi pada hari itu.

Bisa jadi cerita ini terlalu panjang menurut sebagian orang, apalagi dituliskan di facebook, tapi juga bisa terasa pendek, atau ternyata yang terlalu pendek adalah perjalanannya sementara ceritanya kepanjangan, apapun itu ternyata cerita ini terlalu panjang untuk di tulisakan di facebook, tapi terlalu pendek jika dikenang keseluruhan perjalanannya karena banyak detail yang tidak sempat tertuliskan, tapi sepanjang apapun cerita ini dituliskan akan tetap terasa pendek untuk dikenang.

Tapi kami sadar bahwa setiap perjalanan akan selalu membuahkan cerita, oleh karenanya teruslah berjalan, menyebarkan benih baik, dan merengkuh sejuta cerita untuk dibagikan.
Karena kata Sisir Tanah:

"Dan kita tak juga rela tunduk ada jarak
Dan kita tak juga rela tunduk pada jarak
Kita berjalan saja masih s'lalu berjalan
Meskipun kita tak kunjung, tau ujung jalan ini
Dan kita tak juga kan terhenti, s'lalu berjalan
Dan kita tak juga kan terhenti, s'lalu berjalan"

0 Tanggapan:

Posting Komentar

__________

ARSIP

MEMBILANG