![]() |
Rumput ekor rubah dari Pixabay |
Saya lupa pertama kali mendengar shalawat ini pas kapan, tapi yang pasti jelas shalawat ini dimainkan dan dikenalkan oleh Kiai Kanjeng, gamelan yang setia mengikuti Mbah Nun (Sapaan lain dari Cak Nun --Emha Ainun Najib), dulu kita sering mendengar CNKK yang mana adalah akronim dari Cak Nun Kiai Kanjeng. Mungkin kalau saya tidak salah ingat, pertama kali mendengarkan secara langsung (live) shalawat madura dimainkan Kiai Kanjeng itu ketika pitulasan di Kasihan, Bantul alias menghadiri Mocopat Syafaat (simpul maiyah yang ada di Jogja), dan sebelum pagebluk covid19 ini ada, digelar tiap tanggal 17 kalender masehi, atau orang desa saya menyebutnya 'tanggalan nasional', oleh karenanya saya sering menyebutnya 'pitulasan', tapi saya mendengar pertama kali tentu tidak secara live seperti ketika di Mocopat Syafaat, saya yakin mendengarkan pertama kali di youtube. Oleh karenanya ketika saya menemukan kaset ini yang mana di dalamnya ada shalawat madura saya girang sekali waktu itu, ibarat mendapatkan harta karun, dalam album kaset 'Perahu Nuh' tersebut shalawat madura ada di sisi B kaset, pada barisan lagu pertama.
Saya pun lupa pada momen apa saya begitu terenyuh ketika mendengar shalawat ini, tapi saya ingat betul ketika itu sedang maiyahan di suatu desa, kalau tidak salah di Sleman kalau tidak di Bantul (maiyahan umum di desa-desa, bukan maiyahan simpul) sebelum shalawat ini dibawakan Kiai Kanjeng, Mbah Nun menceritakan latar belakang shalawat ini yang mana adalah terinspirasi dari kisah seorang ibu di Madura yang menggendong anaknya yang telah meninggal, dan disepanjang jalan ibu tersebut sambil menangis rengeng-rengeng shalawatan dengan lagu itu, saya kurang tahu apakah lagu yang sekarng kita dengar menjadi shalawat madura ini inspirasinya dari rengeng-rengeng tersebut atau lain cerita, yang pasti dalam cover kaset tersebut ada ucapan terima kasih kepada D. Zawawi Imron di sebelah kanan urutan judul lagu shalawat di album tersebut yang tertulis "Hormat kepada D. Zawawi Imron", tentu kita tahu semua D. Zawawi Imron adalah penyair kawakan yang punya julukan penyair 'Celurit Emas' dari Sumenep-Madura, saya tidak tahu peran D. Zawawi Imron di dalam produksi shalawat tersebut, apakah beliau yang menceritakan kisah ibu tadi kepada Mbah Nun atau kepada personil Kiai Kanjeng atau mungkin yang menuliskan lirik berbahasa madura di salah satu segmen shalawat tersebut, atau malah kedua-keduanya, atau bisa jadi yang menyumbangkan ide soal musiknya, saya tidak tahu, yang jelas shalawat ini memang hampir selalu membuat saya mrebes mili ketika mendengarkannya sendirian di malam hari begini.
Momen paling terenyuh ketika mendengarkan shalawat madura ini adalah ketika tahun lalu saya pergi ke Madura tepatnya di Bangkalan, pada waktu itu mau maiyahan di Madura, dan sekalian mampir ziarah ke makam Syaikhona Kholil Bangkalan, dan kebetulannya kok ya pas maiyahan itu Shalawat Madura dibawakan Kiai Kanjeng, wah waktu itu adalah momen terbaik saya selama ini ketika mendengarkan shalawat madura, saya tak bisa membendung mata saya yang berkaca-kaca, tapi berhubung waktu itu ramai ya saya nggak sampai sesenggukan, tapi selalu ingat kisah dibalik shalawat yang musiknya mendayu-dayu lirih itu yang ceritanya sering disampaikan Mbah Nun di maiyahan ketika Kiai Kanjeng akan membawakan Shalawat Madura tersebut.
Cerita narasi di shalawat tersebut memang sederhana, soal kematian, tapi bagi saya tidak ada yang sederhana tentang kematian, karena selain kematian adalah tentang lanjutan tanggungjawab kita sendiri nantinya, kematian juga adalah sebuah perpisahan kepada orang yang ditinggalkan. Maka selama masih mengenyam hidup di dunia, teruslah berbuat baik kepada semua orang, karena pada akhirnya kita semua akan mati, bertanggungjawab, dan meninggalkan.
Shalawat Madura
Mari dengarkan shalawat madura ini sebagai piweling, atas apa-apa yang telah kita jalani di dunia ini.

0 Tanggapan:
Posting Komentar