Honda WIN 100 itu Bernama Mintaraga

Saya dan Mintaraga

Waktu saya seumuran anak SD yang baru menginjak ruang kelas 3, pernah diberi cerita bapak saya soal pengalamannya mengendarai sepeda motor Honda Astrea, saya sebenarnya tidak begitu tahu sebenarnya Honda Asrea tipe apa yang digunakan waktu itu, tapi anggap saja Honda Astrea Grand. Cerita ini mungkin berlatar pertengahan atau akhir 1990an, mengingat tokoh yang disebutkan bapak saya (selain dirinya sendiri) adalah kakak saya waktu masih kecil yang notabene lahir di awal tahun 1990an, sementara saya waktu itu belum lahir atau mungkin sudah tapi masih bayi. Jadi begini, suatu ketika bapak saya pergi suatu daerah, mungkin keliling kota kecamatan atau sehabis pergi dari kota kabupaten, kejadian itu di jalan menuju pulang ke rumah. Kalau kami habis pergi dan mau kembali ke rumah, jalan yang harus dilalui adalah jalan aspal (konteksnya sekarang sudah diaspal, nggak tau dulu bagaimana, mungkin jalan tanah berbatu) yang lebarnya cukup untuk satu mobil, kalaupun terpaksa ada dua mobil yang berpas-pasan dipastikan salah satunya akan menepi dan dua ban dari salah satu sisi kendaraan roda empat tersebut harus ada yang mengalah menerabas pinggiran jalan. Di salah satu ruas jalan tersebut di sampingnya terdapat saluran sungai, orang desa kami menyebut Kali Jratun, selepas dewasa saya baru tahu itu daerah aliran sungai bernama Sungai Jratunseluna, yang merupakan singakatan dari nama nama sungai di sekitar daerah kami Pati, Jawa Tengah; Jragung, Tuntang, Serang, Lusi dan Juwana. Salah satu aliran sungai itu membelah desa kami yang lokasinya juga sejalur dengan jalan utama desa kami, oleh karenanya kalau mau pulang ke rumah, sudah dipastikan melewati sungai tersebut.

Di hari yang lucu juga mengenaskan itu bapak yang memboncengkan kakak saya dengan motor kesayangannya dulu itu jatuh terperosok ke Sungai Jratunseluna tersebut, terperosok sampai ke dasar sungai, untungnya waktu itu sungai lagi kering kerontang dan dari cerita bapak hal pertama yang dilakukannya adalah menyelamatkan kakak saya —hal yang lumprah dilakukan semua bapak di dunia—, dan melupakan motor Honda Astrea-nya yang dibelinya dari jerih payah upah menjadi guru SD. Respon pertama yang aku berikan ketika mendengar cerita tesebut adalah tertawa terbahak bahak karena bapak juga mengenang pengalaman itu dengan humor, jadi tiap bapak mengulang pengalamannya jatuh dari sepeda motor itu kami semua akan ikut tertawa.

Dari cerita bapak itu, saya selalu terkenang dengan sepeda motor Honda Astrea yang dikendarai waktu jatuh itu, karena saya tidak pernah melihatnya, atau mungkin pernah tapi ingatan saya terhapus karena terlalu dini merekamnya di kepala, karena ketika saya mulai dewasa dan paham dengan apa yang dinamakan sepeda motor dan mulai melupakan sepeda ontel (teman kecil saya), motor yang ada di rumah sudah bukan Honda Astrea melainkan Honda Supra X, saya kira itu motor pertama bapak, ternyata salah. Dan ingatan dan pertanyaan itu saya bawa sampai saya sebesar sekarang: Di mana motor Honda Astrea itu, dan bagaimana bentuknya? Masih menjadi misteri sampai sekarang, seingat saya bapak menjulanya ke teman atau ke pengepul motor bekas waktu itu.

Saya sebenarnya bukan orang yang menggemari sepeda motor, mungkin karena memang tidak pernah bersiggungan secara spesial dengan sepeda motor, di kepala saya sepeda motor ya hanya kendaraan bermesin dan bisa kita kendarai untuk urusan urusan yang lebih penting dengan jarak yang lebih jauh ketimbang pakai sepeda ontel. Pun saya tidak pernah benar-benar dibelikan sepeda motor oleh orang tua saya. Sepeda motor yang pertama kali saya kendarai adalah Yamaha Jupiter Z mata beluk (burung hantu) warna merah, itu adalah lungsuran dari sepeda motor yang dibelikan orang tua saya untuk kakak waktu dia sekolah di tingkat SMA, motor kedua adalah Honda Vario 110 warna merah yang juga lungsuran dari kakak waktu dia kuliah di Solo. Selebihnya saya hanya pernah menaiki sepeda motor Honda Mega Pro Primus punya bapak, atau Yamaha Mio Soul punya ibu yang berganti Honda Beat setelah dijual karena pernah saya pakai jatuh waktu perjalanan ke kota kabupaten.

Honda Vario 110 warna merah itu saya gunakan sejak pertengahan SMA sampai selesai kuliah, jadi saya bersama Honda Vario tersebut selama kurun waktu tahun 2013 sampai 2020, 7 tahun yang menguras kantong, karena boros sekali! Haha.

Hingga tahun 2020 tersebut saya memutuskan untuk membeli motor sendiri, itupun sepeda motor bekas lawas tahun 1996, sepeda motor tersebut adalah Honda Wind 100. Sepeda motor kepala desa! Kata orang-orang tiap melihat saya mengendarai sepeda motor tersebut. Ada beberapa alasan kenapa saya memilih membeli motor bekas ketimbang yang baru atau bekas tapi tahun baru, allasannya sederhana: saya ingin lebih lambat dalam berkendara sepeda motor. Betul. Saya ingin lebih lambat. Bukan alasan yang tanpa sebab, hal itu saya pertimbangkan karena dengan motor modern saya pikir saya lebih ugal-ugalan dalam berkendara, lebih tidak mampu mengatur waktu dengan datang ke sebuah acara atau perjanjian dengan waktu yang memep dengan asum si saya bisa ngebut —begitulah kalau hidup tidak di Jakarta yang macetnya membuat ubun-ubun panas—, dan dengan pengalaman jatuh serta menabrak orang beberappa kali pernah saya lakukan ketika membawa motor saya (eh, motor kakak saya) sebelumnya.

Honda Win 100 ini saya namai Mintaraga, tentu bisa ditebak darimana asalnya, mungkin bisa dua kemungkinan, pertama memang terinspirasi dari seorang dengan nama Jan Mintaraga, komikus idola saya, yang kedua adalah nama lain Arjuna ketika bertapa di pengasingan yaitu Begawan Mintaraga, boleh diartikan darimana saja nama itu diambil, tapi saya lebih memaknai sebagai kalimat yang sesunggungnya Mintaraga—Minta Raga—Menginginkan sebuah raga/badan, ya saya memang meyakini mempunyai teman imajiner yang saya sering ajak ngobrol di saat saat sendiri, saya mengibaratkan dia nyata sebagai ide dan perwatakan tapi tidak nyata secara fisik oleh karenanya dia meminta sebuah raga/badan untuk hidup, dan akhirnya saya kasih sebuah besi tua untuk dia bersemayam, sampailah pada akhirnya saya perlu mengeluarkan banyak uang untuk membelikan dia baju baru, sepatu baru, anting-anting baru, kacamata baru, dan sekrang Mintaraga menjadi ganteng sekali, walaupun sesekali kami berantem, Mintaraga ngambek dan saya kesusahan. Tapi acapkali dia kasihan dengan saya yang ketika dia ngambek pasti akan menuntunnya jauh, hingga lebih sering dia ngambek cuma beberapa saat dan akhirnya ceria lagi, kami berdua bahagia keliling Sleman bersama. Terima kasih Mintaraga, sehat selalu ya! Cheeerrssss!!!!

0 Tanggapan:

Posting Komentar

__________

ARSIP

MEMBILANG