Di Umur 23 Tahun, Kalian Sebaiknya Mendengarkan Blink-182

Sticker Blink-182

Dua pekan ini saya hanya mendengarkan satu genre musik, bahkan bukan saja satu genre tapi lebih spesifik pada satu band saja yaitu Blink-182. Bukan tanpa alasan, tapi alasan-alasan itu akan saya paparkan di paragraf-paragraf selanjutnya.

Tentu saya bukan poser yang tiba-tiba menggandrungi musik pop punk atau sejenisnya, dan juga bukan polisi skena yang menganggap musik sejati hanyalah pop punk dan musik lainnya cuma mampir di telinga orang-orang bersera musik rendah. Bukan, bukan itu semua, ini cuma soal nostalgia, dan nostalgia itu berujung pada realitas hidup yang telah memasuki umur 23 tahun, salah satu gerbang awal memasuki quarter life crisis.

Perkenalan saya dengan Blink-182 dimulai sejak kelas 7, SMP kelas 1, waktu itu di sekolah sedang diadakan class meeting, acara yang diadakan tiap akhir semester untuk merayakan masa vacuum of learn setelah melewati masa ujian akhir, pun waktu di mana guru-guru sibuk mengoreksi hasil ujian akhir semester dan memberi soal remedial. Sementara siswa-siswi mengadakan acara tanding olahraga antar kelas maupun antar angkatan, selain itu ada pula pentas seni, yang belakangan saya sadari cuma berisi pentas band saja. Waktu itu salah satu gerombolan kakak kelas ada yang memainkan lagu Superman Is Dead yang bertajuk Kuat Kita Bersinar ketika manggung di pentas band yang kalau tidak salah berada di depan teras ruang musik. Selepas menikmati pentas band dan acara class meeting selesai dan tentu saja saya tidak mengalami hari buruk yaitu mendapat jadwal remedial, maka saya langsung kembali ke kos dan mengulik musik-musik yang mirip Superman Is Dead di internet, lalu tidak sengaja menemukan Blink-182, pertanyaannya apakah sUperman Is Dead mirip sama Blink-182, ya tentu tidak, tapi nggak tau kenapa nyasarnya seperti itu, internet memang menakjubkan bukan?, begitulah asal mulanya, lalu apa hubungannya dengan masa sekarang?.

Blink-182 di albumnya Enema of the State yang rilis tahun 1999 (baru saya dengarkan 11 tahun kemudian) memuat lagu dengan judul What's My Age Again? Yang memuat potongan lirik “...nobody likes you when you're twenty-three...” pertama kali mendengarkan lagu itu saya masih berumur 13 tahun yang mana bahasa inggris saya masih bergantung pada alfalink translator, jadi tidak begitu ngeh dengan lirik yang serampangan itu (setidaknya menurut saya), karena di umur itu saya mendengarkan musik pop punk ya menikmati musiknya saja yang enak banget buat jingkrak-jingkrak.

Belakangan ini ketika mendengarlan (lagi) Blink-182 sembari bersepeda menyusuri pedesaan di Kepanewon Minggir-Sleman, saya kerap kepikiran dengan penggalan lirik yang saya kutip di atas saat lagu What's My Age Again? besenandung, bukan karena saya sok filosofis atau sok jadi analisis lagu, tapi ini hanya kebetulan saja yang mana saya mendengarkan lagu itu di umur yang sekarang 23 tahun, benar-benar kebetulan yang sialan, karena membuat saya overthinking.

Di umur 23 tahun yang saya sebut adalah awal mulanya quarter life crisis ini memang anak-anak yang sebelumnya masih unyu-unyu dan lebih sering gojekan di burjo (warmindo, lebih tepatnya) dengan teman sebayanya itu sekarang sudah memasuki ambang batas remaja, apalagi spesies ini punya ego setengah mampus, pergolakan batinya sedang kuat-kuatnya, otaknya tiap melewati jam 12 malam hanya berisi pikiran masa depan, hubungan dengan pasangan (kalau punya), dan relasi dengan orang-orang sekitar.

Mampusnya, bagaimana jika di umur 23 tahun itu yang biasanya baru saja lulus kuliah atau baru setaun-dua tahun bekerja lalu mengalami rasa kebosanan yang luar biasa dengan rutinitas hidup, cari kerja setengah mati di masa pagebluk seperti ini, hubungan dengan pasangan yang juga hancur berkeping-keping atau ya memang jomlo sejak lahir, dan hubungan dengan orang-orang sekitar yang tidak baik-baik amat, juga teman-teman dekat sudah semakin menyusut, apalagi ditambah geger geden kalau Awkarin sudah beli hotel di umur yang baru 23 tahun. Betapa menjadi nyata mimpi buruk di penggalan lirik “...nobody likes you when you're twenty-three...”, sudah jobless, broken heart, hopeless: lengkap sudah.

Walaupun kalau ditelaah lebih dalam, keseluruhan lirik di lagu What's My Age Again? Lebih menceritakan bagaimana remaja yang sudah berumur 23 tahun namun masih bersifat menjengkelkan dan kekanak-kanakan padahal (menurut kebanyakan orang) seharusnya di umur 23 tahun sudah memiliki sikap yang dewasa, tapi bagaimanapun juga bukankah orang yang menikmati suatu karya berpeluang untuk menginterpretasikan dengan 1001 pemaknaan?.

Lagu itu memang ditulis ketika dua dari tiga personil Blink-182 waktu itu masih berumur 23 tahun yaitu Tom DeLonge dan Travis Barker, tapi Mark Hoppus yang punya banyak peran menulis lagu di band jingkrak-jingkrak ini saat itu sudah berumur 26/27 tahun. Tapi tidak usah terlalu dibuat pusing, karena ibarat kendaraan, tiap orang punya jalan berbeda-beda melalui hidup yang tidak gampang ini, kecuali jalan hidup Sisca Kohl.

Mungkin kalau saya perempuan, berhijab, suka beli kopi Janji Jiwa, suka makan seblak dan main twitter akan lebih sering ngetwit “Bun, hidup berjalan seperti bajingan...”. Eh, kok saya jadi poser merangkap polisi skena! Abakan!. Sayangnya saya laki-laki umur 23 tahun yang suka denial kalau sering melankolis, ingin mendengarkan lagu-lagu yang merangkum perihnya hidup seperti langunya Nadin Amizah terlampau punya ego besar untuk malu dianggap cengeng, jadi memutar kembali Blink-182 terlebih pada lagu What's My Age Again? Adalah asupan pas untuk jingkrak-jingkrak sekaligus mempertanyakan “Sudah umur 23 tahun nih, terus mau ngapain? Apa yakin hidup seribu tahun lagi, atau malah tinggal 3 tahun lagi seperti Si Binatang Jalang?”.

Di hari-hari yang akan dipenuhi tantangan mari kita canangkan tagar #MakePopPunkGreatAgain, karena setiap orang berhak overthinking, hanya saja playlist yang dipilih untuk menemani perenungan yang ada di isi kepala bisa berbeda-beda.

0 Tanggapan:

Posting Komentar

__________

ARSIP

MEMBILANG