Pulang dengan Album Musik “Peristiwa ’77 - ‘81"

Tahun ini ada dua album musik yang sedang ulang tahun dan informasinya sering sliwar-sliwer di lini masa, pertama album ‘Wish’ milik band kawakan rock (gothic rock, post-rock, new wave, atau apapun itu) The Cure yang merayakan ulang tahunnya ke-30 dan mereka menandai pencapaian itu dengan merilis vinyl spesial dan rilisan-rilisan lainnya yang berkaitan dengan album itu. Yang kedua adalah album “A Rush of Blood to the Head” milik band setenar Coldplay yang mana tanggal 26 Agustus 2022 kemarin tepat 20 tahun yang lalu album tersebut diluncurkan. Tentu ada banyak lagi album yang tahun ini merayakan lustrum, misalnya album ‘ Cintailah Cinta’ milik Dewa19, tapi karena yang sering seliweran di lini masa hanya dua album tersebut, maka yang saya ingat di awal hanya itu.

Malam tadi saya nggak tau mau ngapain, lalu secara acak memilih kegiatan untuk membuka layanan streaming musik Spotify yang akunnya tidak pernah premium itu, niatnya mau mendengarkan musik, kemudian iseng pilah sana pilih situ dan memutuskan untuk memutar lagu-lagunya Fariz RM, bukan sebab apa-apa, hanya karena malam itu saya sedang kangen sekali dengan rumah, dan mendengarkan lagu-lagu Fariz RM rasanya sudah cukup untuk bisa mengkhayal kalau jiwa saya sedang berkelana mendatangi rumah, sedangkan tubuhku tergeletak di sofa kamar yang jaraknya 543 kilometer dari rumah, karena lagu-lagu Fariz RM sering mengalun dari moncong radio yang saban hari disetel bapak. Lalu dari keisengan itu saya menyadari satu hal, yaitu album musik Fariz RM yang bertajuk ‘Peristiwa 77-81' tahun ini ulang tahun ke-40. Iya, lustrum ke-8, boy!

Memang album tersebut terbilang album kelas ke sekian daripada album-album Fariz RM yang lain seperti ‘Sakura’ atau ‘Selangkah ke Seberang’ yang beberapa tahun ini mecuat kembali ke permukaan dan digandrungi anak-anak remaja masa kini, lalu mereka sekarang menyebut rilisan lagu-lagu masa itu (era 80-an) sebagai genre city pop-nya Indonesia, ah, tapi ya nggak apa-apa juga sih, nggak perlu diributkan.

Isi album ‘Peristiwa 77–81’ sebenarnya adalah daur ulang lagu-lagu Fariz RM yang sebelumnya sudah dinyanyikan dirinya sendiri ataupun penyanyi lain di album studio masing-masing dan ada dua lagu yaitu ‘Mekarlah Mekar’ dan ‘Dewi’ yang belum pernah dinyanyikan musisi lain sebelumnya, dan dua lagu itu diciptakan pada tahun 1980 dan 1981, selebihnya delapan lagu sisanya pernah dinyanyikan musisi lain: ‘Kurnia dan Pesona’ dibawakan Rafika Duri dan Harley Malaihollo (Rafika & Harley, 1980), ‘Cinta Kian Menepi’ dinyanyikan Iis Sugianto di album debutnya Fariz RM sendiri (Selangkah ke Seberang, 1980), ‘Sri Panggung’ dinyanyikan Jacky Bahasoan (Gairah Baru, 1981), Asmara Perdana dibawakan Harie Dea (Santun Petaka, 1979), Secita Cerita dinyanyikan Achmad Albar di album yang berjudul sama (Secita Cerita, 1981), Cakrawala Senja dibawakan Keenan Nasution (Di Batas Angan-angan, 1978), ‘Dirimu’ dinyanyikan sendiri oleh Fariz RM di album sebelumnya (Selangkah ke Seberang, 1980) dan yang terakhir adalah ‘Hasrat dan Cita’ yang dinyanyikan Andi Meriem Matalatta (Bahtera Asmara, 1978). Fariz RM tidak sendirian dalam meramu lagu-lagu di album tersebut, namun berkolaborasi dengan teman-temannya, sebut saja Revina Dwiyanti, Rudi Pekerti, Tri Goestoro, Anton Panggabean, Jimmy Paais, dan Iman RN.

Dari sepuluh lagu di album tersebut, lagu yang paling saya favoritkan adalah ‘Hasrat dan Cita’, saya lebih dulu mendengarkan versi Andi Meriem Matalatta ketimbang versi dari suara Fariz RM, dan kalau boleh dibilang sampai sekarang saya tetap menganggap versi Andi Meriem Matalatta sebagai versi terbaik dari lagu tersebut. Namun ada perbedaan pencantuman judul dari lagu tersebut dari versi Andi Merriem Matalata dan Fariz RM, di album musik ‘Bahtera Asmara’ yang dinyanyikan Andi Merriem Matalata lagu tersebut diberi tajuk ‘Hasrat dan Cita’, sementara pada versi Fariz RM di album ‘Peristiwa 77–81’ lagu tersebut diberi judul ‘Hasrat dan Cinta’, memang tidak jauh beda dan kebetulan dua kata yang berbeda itu memang ada di dalam liriknya, jadi ya terserah pendengar mau memakai judul yang mana, hanya saja saya lebih catchy dengan ‘Hasrat dan Cita’, Selain lagunya yang mendayu indah dan mendatangkan memori tentang suasana era 80an yang tenang tapi sekaligusnya banyak kebimbangan dalam diri, dan juga romantisme hubungan vertikal dengan Tuhan yang melebur jadi satu, tiap kuputar lagu itu, saya selalu melafalkan al-fatihah buat ibu Andi Meriem Matalatta yang bagi saya sangat berhasil membawakan lagu itu dengan sangat pas, tidak lebay bombai tapi tetap bisa membuat orang menangis ketika mendengarkannya di keadaan yang tidak baik-baik saja atau memang sedang ingin menangis saja. Lagu tersebut juga menyimpan memori personal bagi saya, karena dari perkenalan dengan lagu-lagu Andi Meriem Matalatta yang pernah diputar bapak di rumah waktu masih kecil, membuat saya makin penasaran dan akhirnya banyak mencari tahu tentang lagu-lagu di era 80-an tersebut yang akhirnya menemukan Fariz RM dan baru menyadai bahwa lagu ‘Hasrat dan Cita’ diramu olehnya. Dari sana saya sadar kalau sesuatu pasti akan pulang pada “rumah” aslinya.

Tapi dari itu semua, album ‘Peristiwa 77–81’ ini mengingatkan kita bahwa sudah sepantasnya apabila karya yang diciptakan seseorang kembali ke alamat asalnya, pulang kampung, di mana awal mula segala peracikan dan ramuan dari terciptanya karya tersebut bermula. Maka lagu-lagu yang sebelumnya sudah dilantunkan dan dipopulerkan orang lain, kemudian kembali pulang dan dinyanyikan oleh setengah dari peramunya (kebanyakan Fariz RM tidak menciptakan sendiri) membuat hati kita hangat sebagai pendengar, karena karya itu akhirnya pulang. Dan sebagaimana kepulangan-kepulangan yang lain, tentu akan menyisakan memori, sebagaimana orang yang sedang kangen dengan kehangatan rumah, dengan bapak ibu yang bawel, dengan kakak-adik yang sering kita ajak bertengkat, dan dengan keponakan yang tiba-tiba tubuhnya membesar dari perjumpaan terakhir dengan kita. Lalu mendengarkan lagi album ‘Peristiwa 77–81’ tepat di ulang tahunnya yang ke-40 membuat hati kita sebagai pendengar berbunga-bunga. Tapi sebagai mana kata orang Amerika “Life Begins at Forty”, perjalan baru dimulai, dan masih sangat jauh, dan saya berharap ketika saya punya cucu nanti dia tetap bisa mendengarkan album ‘Peristiwa 77–81’ di zaman yang mungkin sudah sangat maju atau malah sangat keos, entah di keadaan apaun itu kita tetap bisa pulang ke memori masa lampau sembari mendengarkan album musik ‘Peristiwa 77–81’, sampai akhirnya pada kepulangan yang abadi. 

0 Tanggapan:

Posting Komentar

__________

ARSIP

MEMBILANG