Terjansen jansen The Jansen

The Jansen Mangggung di SynchronizeFest (sumber foto: instagram The Jansen)
Tahun ini termasuk tahun yang membahagiakan, terutama untuk kalangan musisi, selain festival musik mulai digelar, panggung-panggung gigs kecil juga mulai ramai diadakan lagi, lebih-lebih band yang mengeluarkan album di tahun ini, salah satunya The Jansen. Band yang mengusung pesona nostalgia punk dengan alunan mid-tempo era tahun 1970an. Jika senang dengan musik-musik Ramones misalnya, pasti akan suka juga mendengarkan The Jansen. Di album terbarunya yang bertajuk Banal Semakin Binal mereka meramu lirik dalam bahasa Indonesia semua, yang mana di album-album sebelumnya The Jansen selalu kental dengan lirik singkat dengan bahas Inggris, ya persis band punk era 70an  lah. Saya sendiri baru mendengar band ini ketika mereka merilis album Banal Semakin Binal dalam format kaset di acara Record Store Day 2022. Kemudian beberapa bulan kemudian ketika saya melancong ke Jakarta ternyata band tersebut dibicarakan banyak orang.

Suatu waktu ketika saya mendatangi acara peringatan 102 tahun Mia Bustam (kalau penasaran beliau siapa, googling saja ya) di Goethe Institut saya berkenalan dengan teman-teman baru, di sana ada Ihsan, Santo, dan David, seperti kebanyakan mas-mas yang datang ke suatu acara, selepas rangkaian acaranya selesai kami sibuk ngobrol ngalor-ngidul, fafifu soal filosofis dan mencemooh Morrissey, tentu kalian tahu maksud saya, iya betul, menghidupkan wacana "Morrissey is Dead", yang mana pada saat itu Santo sedang memakai kaos The Smith, ya sudah pasti ikut kena cemooh, aku sendiri nggak begitu paham kenapa mereka mencemooh The Godfather Morrissey, tapi karena saya paham konteks bercandanya jadi saya ikut ngakak saja ketika berkali kali mereka menggaungkan "Morrissey telah mati" dan yah begitulah manusia, people  changed. "Tapi Morrissey era The Smith mah masih keren lho" mungkin maksudnya kayak Ahmad Dhani di era Ahmad Band atau Dewa19 di album-album awal gitu ya: masih keren.

Setelah banyak teracuni referensi anak-anak ibukota ini, saya mulai mendengarkan satu band yang sudah saya dengar namanya beberapa bulan sebelumnya, yaitu The Jansen, mulailah saya dengarkan dengan seksama album Banal Semakin Binal, saya memang sengaja dan memfokuskan mendengarkan album tersebut, karena dari berbagai informasi yang saya dapat di album inilah mereka menunjukan taringnya, bahkan komposisi musiknya lebih beragam kalau boleh dibilang, tapi tetap punk.

Pertama mendengar album Banal Semakin Binal saya benar-benar membayangkan andai tahun 70an di Indonesia benar benar kedatangan era punk mid-tempo seperti ini, pasti akan banyak fosil-fosil majalah, pertunjukan punk di Indonesia tahun segitu. Selain itu saya benar-benar seperti mendengarkan Ramones dalam bahasa Indonesia, dalam album tersebut juga terdengar racikan bumbu-bumbu alunan band pop indie, juga ada racikan power pop, pokoknya gado-gado deh, tapi tetap terasa punk-nya (ya lebih-lebih punk mid-tempo era 70an).

Suatu waktu saya bertemu Ihsan dan Santo lagi, kita bersepeda keliling Blok M, sambil ngobrol panjang, Ihsan nyeletuk kurang lebih begini "Lo harus nonton The Jansen, mas. Gokil, selain lagunya, crowdnya gokil". Saya yang pertama kali mendengarkan Album Banal Semakin Binal langsung jatuh cinta akhirnya mengamini perkataan Ihsan, waktu ada kesempatan menonton The Jansen di Bogor yang mana kampunh halaman band tersebut, langsung saja saya gas pol. Itu acara Road to Kemayoran, merayakan band-band Bogor yang akan tambil di Synchronize Fest.

Dari Jakarta saya menuju ke Bogor dengan teman saya, akhirnya setelah sekian lama menunggu sampai juga di waktu yang ditunggu tunggu: melihat The Jansen bekerja.

"ANJINGGG!!" berkali kali kuucapkan dalam hati ketika melihat antusias anak-anak muda merayakan masa mudanya dengan mengakrabi pertunjukan band. Ini nih kelahiran punk mid-tempo sudah menemui waktunya, punk terlahir kembali dengan format yang berbeda, karena kalau ditelisik lebih lanjut tampilan personil The Jansen ini nggak ada yang menunjukan anak band punk, apalagi Adji si bassisnya lebih pantas menjadi anak band tweeppop ketimbang punk, oleh karenanya musik boleh punk gaya tetap mas-mas menggemaskan, seperti yang kusebut di awal "punk terlahir kembal dengan format yang berbeda". Di waktu ketika The Jansen memainkan lagu Langit Tak Seharusnya Biru, yang mana adalah lavu paling aku suka di album Banal Semakin Binal, adrenalin saya memuncak, tapi karena waktu itu kesehatan saya lagi kacau jadi nggak mampu untuk sekadar bergabung dikerumunan crowd manusia di depan panggung. Tapi saya menyaksikan mereka manggung dari dekat sangat dekat di pinggir panggung sudah sangat membahagiakan.

Sejak 2015 setelah menemukan album Dosa, Kota dan Kenangan milik duo Kepodang alias Silampukau, sepertinya saya tidak pernah lagi benar-benar jatuh cinta pada satu ful album sebuah band ketika didengarkan untuk yang pertama kali, dan itu terjadi lagi setelah 7 tahun di album Banal Semakin Binal.

Akhirnya setelah gigs di Bogor saya berkesempatan lagi menyaksikan The Jansen, sekarang di panggung XYZ Synchronize Fest, panggung yang sengaja dibuat terbuka itu membuat penonton bisa menonton dari sudut mana saja. Dan kita tahu dari postingan yang beredar di media sosial, sore itu The Jansen membuat gempar panggung XYZ, keos tapi tidak berantakan. Ya begitulah punk, ya begitulah The Jansen.

Sekiranya saya telah menuntaskan keinginan terbesar saya di tahun ini: menyaksikan The Jansen manggung. Dan itu sudah terjadi, tapi perasaan senangnya masih menempel, karena sampai saat ini saya masih Terjansen-jansen. Kalian juga sebaiknya mencoba mendengarkannya agar merasakan masuk ke dunia yang membahagiakan dan akan merasakan sambutan welcome to our club: TERJANSEN-JANSEN!


___

Untuk awalan, dengarkan saja lagu mainstream dari The Jansen ini: Mereguk Anti Depresan Lagi.

0 Tanggapan:

Posting Komentar

__________

ARSIP

MEMBILANG