Di suatu waktu Nuran Wibisono pernah menulis di Mojok.co dan mengibaratkan album garapan band Efek Rumah Kaca yang bertajuk Sinestesia begini bunyinya "…Ibarat: Fillet of Angus beef and seared foie gras Rossini ala Alain Ducasse. Elegan. Artistik. Elok. Tapi sekaligus menyimpan banyak kejutan. Bayangkan, kamu sedang makan seiris daging sapi, lalu di baliknya ada hati angsa”. Tidak berlebih sebenarnya ungapan tersebut terlebih kalimat itu dikemukanan seorang yang jago menulis tentang cita rasa masakan begitu juga terkenal sebagai jurnalis musik.
Kalau kamu pernah kuliah di UGM, UNY atau semacamnya atau sekadar pernah melewati JI. Kaliurang, dan matamu menemui plang besar bertuliskan Luxury Internet Cafe, di salah satu bilik warnet itulah saya pertama kali mendengarkan album Sinestesia di akhir tahun 2015. Di awal tahun 2016 band tersebut membuat konser di Taman Ismail Marzuki, Jakarta sebagai tanda perilisan album tersebut, pada waktu itu ada penyesalan luar biasa karena saya tidak sempat menontonnya, tentu bisa ditebak karena apa, iya, sebagai mahasiswa miskin untuk memutuskan menempuh perjalanan Yogya-Jakarta (yang asing itu, sampai hari ini masih asing) bagaikan perjudian besar, daripada saya kalah dalam perjudian tersebut, saya mengurungkan niat.
Di suatu waktu yang lain sebagai pembalasan dendamku, saya pernah pelakukan ritus aneh dalam hidup, yaitu mendekor kamar kos yang lokasinya di depan ringroad Jl. Kaliurang sedemikian rupa dengan pernak pernik lucu lalu setelahnya saya bersih-bersih dan mandi, kemudian mengenakan baju koko, menyemprotkan minyak wangi dan memakai peci sukarno, lalu membuka dan menghidupkan laptop, lalu memasang earphone, lalu mendengarkan album Sinestesia selama 4 kali nonstop, setelahnya saya tertidur sampai hari berikutnya. Itulah momen yang saya sebut sebagai Ibadah Sinestesia.
Setelah berselang lebih kurang 6 tahun, Rabu malam kemarin saya telah melakukan Ibadah Sinestesia kembali, bedanya sekarang saya langsung melihat Cholil dkk memainkan Jingga, Merah, Putih, Hijau, Biru, dan Kuning secara live dan saya saksikan dengan kedua mata dan telingaku secara dekat dan sangat dekat.
Sepanjang konser saya menangis di akhir lagu Putih, karena lagu itu hampir saya dengarkan tiap hari sepanjang tahun 2016, juga yang menyadarkanku akan banyak hal waktu itu. Di akhir fullset lagu Kuning dimainkan saya termenung sebentar lalu di dalam hari bilang “mungkin ini turning point lagi dalam hidupku”. Kemudian saya menikmati sampai lagu selesai. Dan dipungkasi dengan bonus lagu ‘Laki-Laki Pemalu’ versi Pandai Besi dan ‘Merdeka’.
Capek, senang, sedih, dan terharu kumpul menjadi satu. Tapi saya senang, saya bangga di saat seperti ini saya dipertemukan dengan hal hal yang membuat perasaanku tumbuh kembali dan saya siap menyongsong hari hari yang ‘berbinar-binar hidup bergelora’.
Terima kasih keluarga Efek Rumah Kaca, Gudskul Ekosistem dan semua pihak dan teman-teman yang menjadikan konser Efek Tiga Hari-Efek Rumah Kaca ini sangat berkesan dan (semoga) menempel selamanya di memoriku.
0 Tanggapan:
Posting Komentar