Gang-gangan di Pakualaman
Merangkak pada gang-gang di punggung pakualaman
aku teringat sajak Jokpin
Dari jauh Yogyakarta mesem kecut kepadaku
meludah di sepanjang jalan tapak
melihat kanan kiri
tembok berbatas dinding triplek tanpa sekat
tanpa halaman
lalu dia berlalu sambil menghampiriku
mesin-mesin tua ditumpuk dengan manusia
di
ruang
tamu
“Yogyakarta kok tidak kayak puisi Jokpin, Apa ini Yogyakarta yang lain?”
tanyaku menenteng siomai dalam plastik sekali pakai
dari penjaja dengan gerabah di sepedanya
“Halo, Adik, aku Yogyakarta yang sama”
jawabnya dengan kaki tersila
Ia tinggi besar
mataku layu tertimbun kekuasaan di mukanya
Mohon maaf Jokpin,
Yogya (mungkin) terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan
tapi romantisasi tak menumbuhkan apa-apa
kini
bahan baku romantisme itu telah menjadi
pagar-pagar besi
lautan pasir menggencet rumput
tanah tak terjamah kantong bolong
gaji tak menjamin hidup seribu tahun lagi
dan sekarang
bahkan sampai Hamengkubuwana ke-lusin pun
Yogyakarta memuntahkan UMR rendah, klitih, romantisme strukturan, dan sultan ground yang tak henti-henti diinventarisasi
–Gang Kampung Purwokinanti (2023)
0 Tanggapan:
Posting Komentar